Sabtu, 4 Oktober 2025

Tribunners / Citizen Journalism

Dinamika Hubungan China-Amerika Serikat dan Pengaruh Indonesia dalam Percaturan Politik Global

China adalah mitra strategis komprehensif yang tepat bagi Indonesia untuk perdamaian dan kesejahteraan

Editor: Eko Sutriyanto
ist
Sukron Makmun, Intelektual muda NU, Wakil Sekjen PERHATI, dan Pengamat Politik Luar Negeri 

Berinisiatif mengunjungi Mao Zedong, dan dari pertemuan itu, lahirlah komitmen untuk mengakhiri ketegangan yang telah lama terjadi. Pendekatan tersebut terbukti tepat.

Ada pelajaran yang dapat dipetik dari sikap Nixon dan Mao. Keduanya sadar bahwa mereka itu memiliki sistem sosial-ekonomi yang berbeda, tapi mereka tidak memiliki keinginan untuk mengubah satu sama lain.

Mereka memilih untuk dialog, saling mendengarkan, dan memahami. Segala bentuk perbedaan dikesampingkan.

Hanya fokus pada kerjasama yang membuahkan hasil. Para elit politik AS maupun China harus ingat, bahwa perdamaian dan stabilitas di tingkat global, itu sangat terkait dengan kebijakan ekonomi dan politik mereka.

Sikap  Indonesia terhadap China dan AS

Selama ini hubungan politik Indonesia dengan China baik baik saja. Begitu juga dengan AS. Indonesia memilih sikap netral, tidak berpihak ke salah satu China ataupun AS. Politik bebas aktif adalah amanah UUD 1945.

Kendati AS selalu membangun persepsi ancaman China terutama di kalangan akar rumput muslim Indonesia, pemerintah tetap menjalin hubungan baik dengan China.

Selain hal tersebut tidak bertentangan dengan UUD, berdasarkan data kredibel, China yang sebelumnya adalah investor nomor buncit, di masa Presiden Jokowi naik menjadi nomor dua terbesar. Semua kerjasama Indonesia-China murni bisnis, tidak terkait politik.

Baca juga: Ancaman Sanksi Meluas, Akankah China Jadi Penopang Ekonomi Rusia?

Secara teori, ekonomi tidak bisa dipisahkan dari politik domestik, tapi trend saat ini, investor asing tidak terlalu mengutamakan politik. Selagi kerjasama bisa saling menguntungkan (win to win), mereka akan masuk. Hanya cara lama yang selalu mengaitkan politik dan ekonomi.

Pemerintah Indonesia juga sangat menyadari, bahwa sikap elite politik AS terhadap China akan terus bergulir sampai kepentingannya tercapai. Tentunya dengan dukungan proxy yang sama-sama memiliki kepentingan bisnis dan politik di tanah air.

Di sisi lain AS sering janji tanpa realisasi. US-IDFC (United States International Development Finance Corporation) misalnya, menjanjikan banyak hal, tetapi tidak pernah keluar uang sepeser pun selama negosiasi.

Karena sikapnya yang tidak pernah jelas itu, Presiden Jokowi terpaksa merestruktur anggaran ibu kota baru yang akan dibangun di pulau Kalimantan.

Selama pemerintah konsisten, Indonesia akan mampu menjadi pemenang dalam konstelasi global, menjadi kunci aktif perdamaian, serta menjadi penyeimbang antara dominasi China dan AS. Pada prinsipnya, Indonesia akan bersahabat dengan siapa saja, tapi dengan catatan, kepentingan nasional menjadi prioritas paling utama.

Presiden Jokowi memiliki cara jitu melobi AS, sehingga sikapnya di Laut China Selatan (LCS) melunak. AS juga dibuat bersedia mendukung kebijakan pemerintah membangun Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI). Dengan demikian, ketegangan hubungan antara AS dan China di LCS, khususnya perebutan jalur Selat Malaka teratasi tanpa friksi.

Melalui poros Jakarta-Abu Dhabi, Indonesia berhasil melunakkan AS tanpa membuat China cemburu. Ibarat gadis cantik, UEA (Uni Emirat Arab) adalah second home bagi AS, another lady bagi China.

Halaman
123

Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email [email protected]

Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.

Rekomendasi untuk Anda
AA

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved