Jumat, 3 Oktober 2025

Tribunners / Citizen Journalism

RCEP, Tiongkok dan Peran Indonesia

Saat ini keanggotaan RCEP menguasai 29 persen PDB dunia dengan total nilai perdagangan lebih dari 10,6 triliun dolar AS

Editor: Eko Sutriyanto
ist
Ilustrasi pertemuan Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP) 

Oleh : Imron Rosyadi Hamid *)

TRIBUNNEWS.COM - Empat belas tahun sebelum Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP) ditandatangani, duta besar Singapura untuk Amerika Serikat, Chan Heng Chee pernah memberikan pidato di Houston, Texas, dengan mengatakan bahwa hubungan Dinasti China dengan Asia Tenggara di masa lalu sebagian besar dilakukan dengan pendekatan soft power.

Chee mengakhiri pidatonya dengan sebuah pesan, “Ada banyak optimisme di Asia Tenggara”. Petikan pidato duta besar salah satu negara ASEAN yang dikenal sebagai ‘sekutu dekat’ negeri Paman Sam ini ditulis David Kang dalam bukunya yang berjudul China Rising:  Peace, Power and Order in East Asia (2007:3) dan seolah mengkonfirmasi berlimpahnya harapan kebangkitan di Asia Tenggara di tengah pandemi Covid 19 dengan ditandatanganinya RCEP, sebuah perjanjian kerjasama perdagangan terbesar oleh sepuluh negara ASEAN dan lima negara di sekitar kawasan, termasuk Tiongkok, pada 15 Nopember 2020.

Kelima belas Negara itu adalah Indonesia, Tiongkok, Jepang, Korea Selatan, Myanmar, Vietnam, Laos, Thailand, Kamboja, Malaysia, Filipina, Brunei Darussalam, Singapura, Australia, dan Selandia Baru. RCEP juga melingkupi area planet bumi seluas 22,5 juta km persegi, dengan mengambil ceruk populasi dunia lebih dari 29,5 persen.

Tidak itu saja, keanggotan RCEP menguasai 29 persen PDB dunia dengan total nilai perdagangan lebih dari 10,6 triliun dolar AS. Wajar, RCEP dianggap sebagai perjanjian perdagangan terbesar dalam sejarah dunia di luar WTO (World Trade Organization).

Disepakatinya RCEP di Tahun 2020, dimana Tiongkok menjadi salah satu pemain kuncinya, bertolak belakang dengan nasib perjanjian TPP (Trans Pasific Partnership) yang digagas Presiden Obama,  ketika Amerika Serikat, sebagai aktor penting di dalamnya, justru menarik diri dari kesepakatan saat Gedung Putih dipimpin Presiden Donald Trump di Tahun 2017.

Baca juga: Bocah Ini Tertidur di Bahu Hakim Saat Ayah dan Ibunya Bertengkar dalam Sidang Cerai di Tiongkok

Shintaro Hamanaka pernah melakukan pembahasan perbandingan dua kesepakatan perdagangan ini: Trans-Pacific Partnership versus Comprehensive Economic Partnership, Control of Membership and Agenda Setting (2014) yang salah satu kesimpulannya menyebutkan pembentukan blok perdagangan seperti RCEP dan TPP dapat dipahami sebagai kompetisi dari para pemain kunci, seperti Tiongkok dan Amerika Serikat, untuk mengambil kendali keanggotaan maupun menentukan agenda atas isu tertentu dalam perdagangan dunia.

Masuknya dua sekutu Amerika Serikat yakni Australia dan Jepang ke dalam RCEP membuat performa blok perdagangan ASEAN plus 5 ini semakin menarik, apalagi kehadiran Tiongkok telah memberikan pengaruh positifnya dalam proses kesepakatan perdagangan global terbesar ini.

Pengaruh positif Tiongkok dalam pentas global ini disebut Callahan (2013) sebagai keberhasilan Taiping Shengshi atau pendekatan perdamaian dan kesejahteraan yang dilakukannya dalam berinteraksi dengan negara-negara di dunia. Stefan Halper dalam The Beijing Concensus (2010: 234) pernah menampilkan data survey Pew Research Center yang diberi judul Global Unease with Major World Powers (2007) untuk membandingkan pengaruh Tiongkok dan Amerika Serikat di tujuh belas negara di dua benua. Survey ini membandingkan selisih antara hal positif dan hal negatif dari pengaruh Tiongkok dan Amerika Serikat.

Selisih diantara variabel-variabel ‘good thing’ dan ‘bad thing’ ini lalu disandingkan untuk mengetahui mana yang memiliki pengaruh kuat. Data  menunjukkan, Tiongkok memperoleh penambahan nilai positif dari limabelas negara (Kenya, Pantai Gading, Ghana, Senegal, Mali, Nigeria, Tanzania, Uganda, Ethiopia, Venezuela, Chili, Bolivia, Peru, Brazil, Argentina) dan hanya dua negara (Afrika Selatan dan Meksiko) yang menambah nilai negatif terhadap negeri tirai bambu tersebut.

RCEP dan Peran Indonesia

Meskipun Indonesia belum meratifikasi RCEP hingga hari ini, tetapi komitmen Pemerintah dengan DPR RI telah diambil : akan melakukan proses finalisasi legislasi dalam kuartal pertama Tahun 2022 ini.

Perjanjian kerjasama RECP sudah berlaku efektif (entry into force) awal tahun ini karena sudah ditanda-tangani lebih dari 6 anggota ASEAN dan lebih dari tiga negara anggota non ASEAN. Indonesia merupakan inisiator RCEP ketika menjadi pemimpin ASEAN Tahun 2011.

Melalui berbagai perundingan yang dilakukan sejak Tahun 2013 hingga penandatanganan 15 Nopember 2020 lalu, Indonesia memiliki peran penting karena menjadi Ketua TNC (Trade to Negotiation Committee) atau Komite Perundingan Perdagangan untuk mencapai kesepakatan antar pihak sebelum RCEP ditandatangani oleh lima belas negara.

Baca juga: Dubes Uni Eropa Hingga Tiongkok Harap Moderasi Beragama Jadi Spirit Perdamaian di Tingkat Global

Akhir 2020 lalu, ADB membuat sebuah  kajian Regional Comprehensive Economic Partnership: Overview and Economic Impact yang menempatkan Indonesia menjadi salah satu Negara ASEAN yang akan memperoleh keuntungan signifikan melalui RCEP di tahun 2030 dengan pendapatan sebesar 2.192 miliar dolar AS.

Halaman
12

Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email [email protected]

Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.

Rekomendasi untuk Anda
AA

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved