Selasa, 30 September 2025

Tribunners / Citizen Journalism

Muktamar NU

Memisahkan NU dengan PKB = Menjadikannya Tanah Tak Bertuan & Membingungkan Nahdliyyin

Menjauhkan NU dari politik kekuasaan memang benar, tetapi tidak bijaksana. Politik kebangsaan adalah utopia kalangan elite Nahdliyyin.

Editor: Husein Sanusi
Istimewa
KH. Imam Jazuli, Lc. MA, alumni Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri; Alumni Universitas Al-Azhar, Mesir, Dept. Theology and Philosophy; Alumni Universiti Kebangsaan Malaysia, Dept. Politic and Strategy; Alumni Universiti Malaya, Dept. International Strategic and Defence Studies; Pengasuh Pondok Pesantren Bina Insan Mulia, Cirebon; Wakil Ketua Pimpinan Pusat Rabithah Ma’ahid Islamiyah (Asosiasi Pondok Pesantren se-Indonesia); Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Periode 2010-2015. 

Mengingat harga suara yang solid, bersatu padu, satu visi-misi jauh lebih mahal dari pada harga suara eceran maka satu-satunya cara paling strategis untuk mendapatkan harga murah dari warga NU adalah memecah-belah. Dan satu-satunya cara paling efektif memecah-belah tingkat soliditas suara warga Nahdliyyin adalah mengkampanyekan ide politik kebangsaan, bukan politik kekuasaan. Tetapi diiringi oleh kemunafikan, berupa tindakan diam-diam memobilisir warga NU untuk mendukung pasangan tertentu/partai tertentu (non NU). Kemunafikan ini wajar diganjar/dibalas dengan kekalahan pada Pilkada 2020.

Setelah soliditas suara warga Nahdliyyin tercapai, memang tantangan berikutnya adalah saluran kepartaian. Tidak mudah mempertahankan soliditas karena sistem politik di Indonesia adalah multipartai. Tetapi hal ini hanya soal teknis, yang substansial tetap soliditas suara warga Nahdliyyin. Dan menurut Penulis, Hanya PKB Saluran Politik Nahdiyyin yang paling tepat, agar pada Pilpres 2024 nanti seluruh suara warga Nahdliyyin didistribusikan via PKB. Karena sejak Pilpres 2014, 2019, sampai sekarang, kontribusi PKB sangat besar dan nyata untuk kemaslahan pesantren dan nahdiyyin. Apalagi PKB satu-satunya partai yang lahir dari rahim suci NU.

Sebaliknya, memisahkan NU dari PKB atas nama politik kebangsaan dan membuat warga Nahdliyyin menjadi "floating mass", atau "tanah tak bertuan," sehingga ambyar dan menyebar ke berbagai partai, hal itu adalah "pengkhianatan" terbesar bagi NU dan kepada para masyayikh pendiri NU dan PKB. Sebab, Partai-partai selain PKB bukan anak kandung NU. siapapun ngaku warga NU wajib ber-PKB, itulah slogan yang tepat menuju pemilu 2024, Wallahu a'lam bis shawab.

*Penulis adalah Alumni Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri; Alumni Universitas Al-Azhar, Mesir, Dept. Theology and Philosophy; Alumni Universiti Kebangsaan Malaysia, Dept. Politic and Strategy; Alumni Universiti Malaya, Dept. International Strategic and Defence Studies; Pengasuh Pondok Pesantren Bina Insan Mulia, Cirebon; Wakil Ketua Pimpinan Pusat Rabithah Ma’ahid Islamiyah (Asosiasi Pondok Pesantren se-Indonesia); Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Periode 2010-2015.*

Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email [email protected]

Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.

Rekomendasi untuk Anda
AA

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
About Us Help Privacy Policy Terms of Use Contact Us Pedoman Media Siber Redaksi Info iklan