Tribunners / Citizen Journalism
Muktamar NU
Memisahkan NU dengan PKB = Menjadikannya Tanah Tak Bertuan & Membingungkan Nahdliyyin
Menjauhkan NU dari politik kekuasaan memang benar, tetapi tidak bijaksana. Politik kebangsaan adalah utopia kalangan elite Nahdliyyin.
Editor:
Husein Sanusi
Memisahkan NU dengan PKB = Menjadikannya Tanah Tak Bertuan & Membingungkan Nahdliyyin
Oleh: KH. Imam Jazuli, Lc. MA*
TRIBUNNEWS.COM - Pilihan elite Nahdliyyin untuk menjauhkan NU dari politik kekuasaan, walaupun "bener" tetapi tetap tidak "pener". Dua diksi ini (bener dan pener) sudah mafhum di lingkungan Nahdliyyin berkebudayaan Jawa. Tetapi, "bener dan pener" penting dijelaskan lebih jauh karena NU adalah milik semua putra bangsa.
Orang Jawa mengartikan "bener" serupa dengan "benar" dalam kosakata bahasa Indonesia. Sedangkan "pener" lebih dekat pada kosakata "arif-bijaksana". Jadi, jika sesuatu disebut "bener tapi tidak pener" berarti sesuatu itu sudah benar dalam pertimbangan akal rasional tetapi tidak arif bijaksana karena menyisakan sesuatu yang mengganjal di hati.
Menjauhkan NU dari politik kekuasaan memang benar, tetapi tidak bijaksana. Politik kebangsaan adalah utopia kalangan elite Nahdliyyin, yang pada gilirannya akan merugikan warga Nahdliyyin akar rumput (grassroots). Pengalaman menunjukkan warga Nahdliyyin dimobilisir pada setiap pesta demokrasi, dengan janji-janji manis berbalut ideologis.
Perhatikan pada pengalaman Pilpres 2019, pada masa-masa kampanye, Cawapres Ma'ruf Amin sempat dilaporkan ke Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) atas tuduhan black-campaign/kampanye hitam. Saat itu Ma'ruf Amin dinilai mengatakan bila pasangan Jokowi-Ma'ruf Amin kalah maka NU dan pesantren akan jadi fosil alias punah. Untuk apa menakut-nakuti NU dan pesantren jika memang pada dasarnya tidak ikut campur dalam politik kekuasaan?!
Tetapi, elite Nahdliyyin yang terus-menerus menggemakan ide politik kebangsaan, bukan politik kekuasaan, tidak mau jujur. Padahal, Islam tidak bisa dipisahkan dari politik. Dan politik Islam tidak bisa dipisahkan dari kekuasaan. Menjauhkan NU dan Nahdliyyin dari politik kekuasaan bertentangan dengan spirit keislaman, di satu sisi. Dan di sisi lain, juga bisa membodohi warga Nahdliyyin, karena tidak menyadarkan mereka bahwa satu suara sangat berharga.
Warga Nahdliyyin yang tidak sadar bahwa satu suara mereka sangat berharga, jatuh pada kebingungan. Mereka tidak tahu harus bagaimana memanfaatkan suara aspirasi mereka sendiri. Dalam kebingungan inilah, ketika para bakul politik datang, maka warga Nahdliyyin di level akar rumput bisa terseret ke berbagai partai politik yang bermacam-macam. Jumlah besar mereka menjadi buih di lautan yang tidak berharga.
Dalam suasana kebingungan warga Nahdliyyin yang sama ini pula, elite-elite Nahdliyyin datang bagaikan seorang Hero/Pahlawan. Mereka menawarkan janji-janji manis ideologis, memobilisir massa akar rumput ke dalam satu barisan yang sama, untuk mendukung salah satu pasangan calon. Sampai-sampai tanpa disadari, warga akar rumput ini sudah sepenuhnya basah kuyup oleh politik kekuasaan praktis pragmatis.
Ini adalah bentuk kemunafikan elite Nahdliyyin yang pro ide politik kebangsaan di level wacana, tetapi menjadi bandar di level politik kekuasaan. Kemunafikan semacam ini tidak boleh dipertahankan terus-menerus, karena hanya akan membodohi warga Nahdliyyin di level akar rumput. Sebaliknya, sejak dini sekali, elite-elite Nahdliyyin secara serentak mengajarkan warga akar rumput tentang pentingnya suara mereka, tentang betapa berharganya aspirasi politik mereka, sehingga mereka harus menyalurkan aspirasi itu lewat partai politik.
Menyalurkan aspirasi lewat partai politik adalah bentuk konkrit dan paling sederhana yang bisa dipahami oleh warga Nahdliyyin akar rumput. Itulah sejatinya bentuk politik kekuasaan itu sendiri. Jika ada elite-elite Nahdliyyin yang mengkampanyekan politik kebangsaan tetapi pada saat yang sama mengafirmasi penyampaian aspirasi lewat partai politik, maka ia telah berdusta dan berbuat keji.
Penulis berpendapat, ide politik kebangsaan yang ditujukan untuk memisahkan Nahdliyyin dari politik kekuasaan adalah ide yang digawangi oleh sekelompok orang yang ingin mencairkan suara warga NU. Dalam suasana yang cair itu, maka warga NU menjadi tanah tak bertuan; siapa saja dipersilahkan untuk memperebutkannya. NU menjadi objek yang pasif, bukan lagi subjek yang aktif. Nasib suara warga "ditentukan" oleh kekuatan eksternal, bukan oleh dirinya sendiri.
Di masa depan, warga Nahdliyyin tidak punya pilihan lain selain mengkonsolidasikan suara dan aspirasi. Jangan mudah dipecah-belah. Itu langkah pertamanya. Langkah keduanya adalah memastikan untuk menyalurkan seluruh aspirasi warga NU ke dalam satu partai politik saja.
Selain itu juga perlu diketahui, nominal harga suara yang terkonsolidasi jauh lebih mahal dari pada harga suara yang dijual secara eceran/ketengan. Ini yang sangat tidak disukai oleh partai politik. Sebab, jika suara warga Nahdliyyin bersatu maka tidak ada uang yang bisa membeli mereka, kecuali seharga kursi RI 1. Tetapi, semakin dijual secara ketengan/eceran maka 1 kursi di tingkat daerah pun sulit dicapai.
Coba perhatikan Pilkada tahun 2020. Warga NU menderita kekalahan. Jawa Timur dan Jawa Tengah adalah contoh betapa ruginya suara Nahdliyyin yang kalah di pentas politik. Hal itu wajar terjadi, karena sebuah kesalahan filsafat politiknya selama ini, yang bermuka dua: menolak politik kekuasaan, mendukung politik kebangsaan. Ini adalah gagasan paling absurd di era seperti sekarang. Karena itulah, warga Nahdliyyin jangan menjual suara mereka secara eceran/ketengan. Tetapi jual dalam satu bingkai soliditas dan keutuhan.
Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email [email protected]
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.