Selasa, 7 Oktober 2025

Tribunners / Citizen Journalism

Membaca Moderasi di Indonesia

Pendiri Institut Moderasi Indonesia (InMind) menjelaskan agama sesungguhnya sudah bersifat moderat sehingga  tidak perlu  moderasi

Editor: Eko Sutriyanto
Istimewa
Sampul buku Moderasi Beragama dan Berbangsa di Indonesia 

Oleh : Dr Zainal Abidin Amir MA*

DUA tahun terakhir, moderasi kembali marak menjadi perbincangan. Terutama sejak Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mencanangkan tahun 2019 sebagai Tahun Moderasi.

Banyak kegiatan berupa penelitian, seminar, dan karya ilmiah yang mengangkat tema ini, termasuk di tanah air.

Bahkan lembaga-lembaga yang menggunakan nama moderasi belakangan banyak bermunculan.

Moderasi  secara  kebahasaan  berasal  dari  kata  Latin  moderatio  yang  berarti kesedangan.  

Dalam  bahasa  Inggris  kata  ini  menjadi  moderation  dan  memiliki makna yang sama dengan average (rata-rata), core (inti), standard (baku), serta non- aligned (tidak berpihak).

Di  Indonesia  kata  kemudian  disadur  menjadi  kata  moderasi,  yang  –dalam Kamus Bahasa Indonesia– memiliki arti  pengurangan kekerasan, dan penghindaran   keekstreman.

Baca juga: VIRAL Wisuda Gendong Ayah, Jefri Ternyata Lulusan Terbaik Universitas Muhammadiyah Kotabumi Lampung

Karena   itu,   dalam   kamus  yang   sama   dijelaskan bahwa moderat –sifat atau kualitas moderasi– adalah orang yang selalu menghindarkan  perilaku  dan  pengungkapan  yang eksterem,  berkencenderungan  ke arah dimensi atau jalan tengah.

Dalam  bahasa  Arab,  konsep  ini  dikenal  dengan  sebutan  wasathiyah,  yang kurang  lebih  bermakna  sama.  

Istilah  ini  berakar  dari  kata  wasath  yang  berarti tengah,  superioritas,  keadilan,  kemurnian,  kebangsawanan,  dan ketinggian status.

Dalam al-Qur’an juga dikenal istilah ummatan wasatha yang berarti “umat pertengahan” atau “umat terbaik”. Ini yang menjadi tujuan moderasi dalam Islam.

Secara   konseptual   gagasan   ini   muncul   sebagai   respon   masih   maraknya kekerasan berkedok menjaga agama di satu sisi, dan menggampangkan agama di sisi  lain.

 Sikap  berlebih-lebihan  (radikal)  maupun  mengurang-ngurangi  (liberal) inilah  yang  menjadi dua  kubu ekstrem yang  berupaya  dihindari melalui konsep moderasi;  konsep jalan tengah.

Baca juga: Pemprov Jabar Larang Perayaan Tahun Baru 2021

Moderasi di Indonesia  sebenarnya  bukan hal baru. Ini yang berusaha dipotret oleh Eno Syafrudien dan Rizaldi Lufti dalam buku “Moderasi Beragama dan Berbangsa   di  Indonesia”.   

Sebagaimana   judulnya,   buku   ini   menggambarkan tentang moderasi bukan hanya dalam konteks agama –sebagaimana umum dipahami– tetapi juga dalam bingkai bangsa di Indonesia.

Halaman
123

Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email [email protected]

Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.

Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved