Tribunners / Citizen Journalism
Mental Korup dan Revolusi Mental
Praktik korupsi sudah jauh lebih lama terjadi, hingga dalam kaitan normatif struktural di sebuah negara, dibutuhkan berbagai peraturan mencegahnya.
Soeharto yang mendapatkan kekuasaan setelah ditolaknya pertanggungjawaban Presiden Soekarno atas peristiwa Gerakan 30 September, menjelang Pemilu 1971, menyampaikan pidato tentang komitmennya memberantas korupsi.
Korupsi dianggapnya tidak hanya merugikan negara, tetapi juga membahayakan pembangunan dan bertentangan dengan moral.
Untuk itu dia menyatakan akan memimpin langsung pemberantasan korupsi dan akan bertindak tegas. “Saya tidak memberi angin kepada koruptor. Korupsi memang masih ada dan harus diberantas. Siapa pun, tidak pandang bulu,” kata Presiden Soeharto (16 Agustus 1970)
Sebelumnya, di tahun yang sama juga Presiden Soeharto membentuk Tim Pemberantasan Korupsi yang disebut Komisi 4.
Sedianya Bung Hatta yang diminta untuk mengetuainya, namun karena masalah kesehatan digantikan oleh Wilopo, mantan Perdana Menteri Indonesia.
Tim yang beranggotakan I.J Kasimo, Prof. Johannes, dan Anwar Tjokroaminoto itu, bertugas mengevaluasi dan memberi rekomendasi ke pada pemerintah tentang praktik korupsi di lembaga-lembaga negara.
Sayangnya temuan dan rekomendasi Tim 4 tersebut tidak ditindaklanjuti. Setahun kemudian, Soeharto semakin memperkuat legitimasi kekuasaan setelah Golkar memperoleh suara mutlak di Pemilu 1971 dan mengantarkannya menjadi Presiden.
Sejak itu tidak ada yang mampu mengontrol kekuasaan Presiden Soeharto hingga berpuluh-puluh tahun lamanya.
Apa yang ditakutkan oleh Bung Hatta menjadi kenyataan, korupsi tumbuh menjadi budaya. Namun, korupsi akhirnya juga menjadi salah satu isu utama yang menggusur Presiden Soeharto dari kekuasaan.
Mengapa di era reformasi praktik korupsi masih terjadi? Jika merujuk bahwa korupsi sangat mungkin dilakukan oleh orang atau kelompok yang memiliki kekuasaan politik, maka perlu dipahami bagaimana kekuasaan itu diperoleh.
Di era reformasi yang bertujuan mengembalikan kekuasaan kepada rakyat, pada kenyataanya hanya berbentuk simbolik belaka.
Kekuasaan memang diperoleh melalui kontestasi politik yang memenuhi prosedur demokrasi. Namun, budaya korup di masa lalu telah menghasilkan sekelompok orang-orang kaya yang tetap ingin mempertahankan kekayaannya.
Atas dasar itulah mereka butuh kekuasaan politik yang dapat melindungi dan menambah kekayaannya. Perkembangan saat ini, perlindungan saja dirasakan tidak cukup, mereka bahkan masuk ke dalam entitas kelompok politik, baik yang sudah ada atau diciptakannya sendiri.
Meski terjadi perubahan struktural di era reformasi, namun tidak terjadi transformasi sosial di tingkat masyarakat.
Perilaku otoritarian di masa Orde Baru memiliki kontribusi yang besar dalam menghilangkan sikap kritis masyarakat. Pemilu dalam berbagai tingkatan, tidak dipahami sebagai medium kontrak politik dan sosial antara rakyat dengan calon pemimpin dan atau wakil-wakilnya.
Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email [email protected]
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.