Tribunners / Citizen Journalism
Manuver Vanuatu Soal Papua dan Sosialisme Melanesia
Negara yang mengkritik Indonesia ini justru belum meratifikasi Konvensi Internasional Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial.
Lebih dari itu, pimpinan tertinggi kepolisian daerah dan bahkan pimpinan tertinggi militer di daerah tersebut juga merupakan orang asli.
Orang-orang yang dituduhkan sedang mengalami diskriminasi rasial tersebut juga sedang menikmati pendidikan di berbagai kampus di seantero Indonesia dan juga di berbagai wilayah dunia mulai dari Australia, Eropa sampai Amerika.
Dalam Konvensi Internasional Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial, istilah "diskriminasi rasial" berarti setiap pembedaan, pengecualian, pembatasan atau preferensi berdasarkan ras, warna kulit, keturunan, atau asal kebangsaan dengan pijakan yang sama, hak asasi manusia dan kebebasan fundamental dalam bidang politik, ekonomi, atau bidang kehidupan publik lainnya.
Berdasarkan kondisi yang ada saat ini baik di Provinsi Papua maupun Provinsi Papua Barat, tidak ada bentuk diskriminasi rasial yang diterapkan di sana.
Bahkan orang-orang Papua mempunyai hak yang sama dengan warga negara Indonesia lainnya untuk menjadi pejabat tinggi negara, pejabat tinggi kementerian/lembaga, dan juga menjadi dosen, atau pun menjadi pengusaha dimana pun di bumi nusantara ini.
Jadi istilah diskriminasi rasial yang dituduhkan oleh Vanuatu tidak mengikuti rujukan resmi, tetapi lebih bersifat arbitrer, semau gue, seenaknya dewe.
Yang menjadi pertanyaan adalah, mengapa banyak Pemerintah Vanuatu yang ngotot mengangkat isu Papua.
Hal ini disebabkan karena konsep rasialisme sebenarnya sudah diterapkan oleh Vanuatu sejak negara itu terbentuk. Konsep rasialisme ini terus berupaya dijaga dan dihidupkan oleh sebagian besar politisi untuk mendapatkan keuntungan secara domestik, yaitu agar bisa terpilih menjadi anggota legislatif ataupun menjadi anggota kabinet, atau bahkan hanya sekedar menjadi tokoh masyarakat.
Founding father Vanuatu sekaligus Perdana Menteri Vanuatu pertama, Walter Lini, mempunyai obsesi untuk membentuk suatu negara Federal Melanesia melalui apa yang disebutnya dengan sosialisme Melanesia.
Untuk itu, Walter Lini mengembangkan hubungan yang sangat erat dengan negara-negara Melanesia lainnya seperti Papua Nugini, Solomon Islands dan Fiji.
Adapun bangsa Melanesia yang berada di negara lain yaitu di Indonesia (Papua) dan di Kaledonia Baru (suku Kanak), maka perlu diperjuangkan untuk memperoleh kemerdekaan.
Konsep perjuangan pendiri negara Vanuatu ini jelas-jelas sangat rasial, karena saat negara-negara lain mulai bersatu dengan membentuk kelompok-kelompok organisasi regional yang lepas dari batas-batas etnik, ras, bahasa, kebudayaan dan kemampuan ekonomi, pendiri Vanuatu justru mengambil langkah chauvinisme sempit yang melihat pada keunggulan ras Melanesia.
Vanuatu adalah negara homogen yang didominasi oleh ras Melanesia, sehingga lebih mudah untuk menerapkan konsep yang ada. Konsep ini tentu saja tidak bisa diterapkan di negara-negara yang heterogen yang terdiri dari multi-etnis, seperti Indonesia.
Bahkan negara-negara internasional saat ini melakukan “burden sharing” untuk masalah pengungsi dari berbagai negara yang terlibat dalam konflik yang notabene bukan merupakan warga negara mereka dan juga bukan berasal dari etnis yang sama dengan mereka.
Meskipun Vanuatu saat ini lebih terbuka dan bisa bekerjasama dengan negara-negara non-Melanesia, tetapi konsep sosialisme Melanesia ini terus dipertahankan oleh kebanyakan politisi untuk mendapatkan dukungan dari masyarakat, dan yang paling mudah adalah dengan mengangkat isu orang-orang yang mereka klaim sebagai saudara mereka, yaitu orang-orang Papua.
Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email [email protected]
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.