Tribunners / Citizen Journalism
Medsos, Berkah atau Malapetaka?
Masyarakat juga perlu diedukasi bagaimana cara membedakan mana hoaks dan mana berita faktual.
Mengapa isi medsos lebih variatif dan menarik daripada media massa?
Sebab konten di media massa disaring dan disensor terlebih dahulu oleh dewan redaksi, sedangkan medsos tidak. Akibatnya, banyak muncul hoaks atau berita bohong di medsos.
Media massa juga terikat dengan Undang-Undang (UU) No 40 Tahun 1999 tentang Pers, UU No 11 Tahun 2008 yang diperbarui dengan UU No 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), serta Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP).
Sedangkan medsos hanya terikat dengan UU ITE dan KUHP. Jadi, medsos lebih leluasa ketimbang media massa.
Strata sosial pembaca medsos juga lebih variatif, dari kelas bawah, menengah hingga atas. Sedangkan strata sosial pembaca media massa hanya kelas menengah hingga atas. Akibatnya, gaung medsos lebih kuat daripada media massa.
Maka medsos lebih mudah memicu emosi massa daripada media massa. Simak saja, banyak kerusuhan sosial yang dipicu oleh berita di medsos, baik hoaks maupun berita yang terverifikasi.
Itulah mengapa pemerintah sempat mengambil kebijakan pembatasan internet di Papua dan Papua Barat pada 19 dan 21 September 2019, supaya kerusuhan massa yang terjadi di sejumlah wilayah itu belum lama ini tidak meluas ke wilayah lain.
Ironisnya, pemerintah dinyatakan bersalah dan dihukum oleh Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta gara-gara melakukan pembatasan internet di Papua dan Papua Barat karena dinilai melanggar hak asasi manusia (HAM).
Kerusuhan sosial di sejumlah wilayah di Amerika Serikat (AS) hari-hari belakangan ini yang dipicu oleh kematian warga kulit hitam George Floyd akibat ulah oknum polisi kulit putih tidak akan semasif ini jika tidak didukung berita-berita di medsos.
Pertanyaannya kini, mengapa penyebaran hoaks di Indonesia tetap marak meski para pelakunya sudah ditangkap? Ini seperti yang terjadi dengan kasus narkotika dan terorisme. Mengapa?
Salah satunya karena Polri terlalu mengedepankan langkah represif melalui penegakan hukum atau "enforcement law" UU ITE dan KUHP.
Pemerintah tidak mengedepankan upaya preventif melalui langkah-langkah edukatif dan persuasif, misalnya melalui literasi digital.
Ya, masyarakat harus diedukasi melalui literasi digital supaya bisa membedakan mana berita hoaks dan mana berita faktual, sehingga bisa melakukan "saring" sebelum "sharing".
Masyarakat juga perlu diedukasi bagaimana cara membedakan mana hoaks dan mana berita faktual.
Pertama, dengan menggunakan logika dan akal sehat. Berita-berita yang tidak masuk akal kebanyakan adalah hoaks.
Kedua, dengan melakukan "cross check" atau cek silang ke medsos lain atau media massa "mainstream" (arus utama). Jika di media massa mainstream ada berita yang sama, patut diduga berita tersebut faktual, bukan hoaks. Itulah!
* Dr Drs H Sumaryoto Padmodiningrat MM: Mantan Anggota DPR RI.
Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email [email protected]
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.