Tribunners / Citizen Journalism
Medsos, Berkah atau Malapetaka?
Masyarakat juga perlu diedukasi bagaimana cara membedakan mana hoaks dan mana berita faktual.
Oleh: Dr Sumaryoto Padmodiningrat MM
TRIBUNNEWS.COM - Bak sebilah pedang. Di tangan orang baik akan menjadi baik, di tangan orang jahat akan menjadi jahat.
Itulah fenomena media sosial (medsos) yang Rabu (10/6/2020) kemarin kita petingati sebagai Hari Media Sosial Nasional ke-5.
Lalu muncullah pertanyaan: medsos, berkah atau malapetaka?
Tak dapat dipungkiri, saat ini medsos telah menjadi bagian tak terpisahkan dalam kehidupan manusia, termasuk masyarakat Indonesia.
Medsos banyak dipakai untuk berinteraksi dengan orang-orang yang jauh, bahkan yang tidak mereka kenal sebelumnya.
Belakangan bahkan medsos sudah menjadi sesuatu yang dapat membantu para pelaku usaha.
Banyak muncul perusahaan-perusahaan rintisan atau "startup", "online shop" atau toko dalam jaringan (daring) dan penjualan online yang berkembang pesat melalui platform medsos.
Apalagi di tengah pandemi Coronavirus Disease 2019 atau Covid-19 seperti sekarang ini.
Medsos juga telah mengubah bagaimana masyarakat berkomunikasi. Medsos telah menjadi alat komunikasi yang tidak hanya untuk berkomunikasi, tapi juga sarana untuk berbagi informasi.
Berdasarkan laporan terbaru We Are Social, seperti dilansir sebuah media, tahun 2020 ini ada 175,4 juta pengguna internet di Indonesia.
Dibandingkan tahun sebelumnya, ada kenaikan 17% atau 25 juta pengguna internet di Tanah Air.
Berdasarkan total populasi atau penduduk Indonesia yang berjumlah 272,1 juta jiwa, berarti 64% penduduk Indonesia telah merasakan akses ke dunia maya.
Data yang tak kalah menarik, ada 160 juta pengguna aktif medsos.
Bila dibandingkan dengan 2019, tahun ini We Are Social menemukan ada peningkatan 10 juta orang Indonesia yang aktif di medsos.
Adapun medsos yang paling banyak 'ditongkrongi' oleh pengguna internet Indonesia dari paling teratas adalah YouTube, WhatsApp, Facebook, Instagram, Twitter, Line, FB Messenger, LinkedIn, Pinterest, We Chat, Snapchat, Skype, Tik Tok, Tumblr, Reddit, dan Sina Weibo.
Pedang Bermata Dua
Seperti pedang bermata dua, medsos dapat memberikan dampak positif bagi orang yang menggunakannya dengan baik, baik bagi pribadi, keluarga, maupun katakanlah perusahaan.
Di sinilah medsos menjadi berkah.
Namun, medsos juga dapat berdampak negatif jika digunakan untuk tujuan negatif dan menyimpang.
Maka kemudian muncullah adagium, "jemarimu harimaumu", dari pepatah "mulutmu harimaumu". Di sinilah medsos menjadi malapetaka.
Mereka yang menggunakan medsos untuk tujuan negatif antara lain melalui penyebaran hoaks atau berita bohong.
Penyebaran hoaks ini sangat masif pada masa kampanye Pemilihan Presiden (Pilpres) 2014 dan Pilpres 2019.
Tidak itu saja, di masa pandemi Covid-19 ini penyebaran hoaks melalui medsos juga masih marak.
Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) menemukan sedikitnya 554 hoaks terkait virus corona di tengah pandemi Covid-19 ini. Berita-berita bohong tersebut tersebar di 1.209 platform digital.
-
Baca: Umbar Prahara dengan Aurel Azriel di Medsos, Krisdayanti Disentil MKD DPR, Singgung Jaga Kehormatan
Isu hoaks tersebut tersebar di Facebook sebanyak 834 kasus, Instagram 10 kasus, Twitter 350 kasus, dan Youtube enam kasus.
Sebanyak 1.209 saluran digital tersebut telah dilaporkan ke aparat penegak hukum. Adapun sebanyak 893 kasus telah ditindaklanjuti atau diblokir, sedangkan 316 kasus masih dalam proses.
Kini, keberadaan medsos sudah berhasil menggeser bahkan mengalahkan media massa seperti surat kabar, majalah, televisi, radio dan media massa berbasis internet atau online.
Bahkan banyak industri surat kabar dan majalah yang terpaksa gulung tikar karena ditinggalkan pembaca.
Mengapa medsos lebih eksis daripada media massa? Sebab, konten atau isi medsos lebih variatif dan menarik daripada media massa.
Mengapa isi medsos lebih variatif dan menarik daripada media massa?
Sebab konten di media massa disaring dan disensor terlebih dahulu oleh dewan redaksi, sedangkan medsos tidak. Akibatnya, banyak muncul hoaks atau berita bohong di medsos.
Media massa juga terikat dengan Undang-Undang (UU) No 40 Tahun 1999 tentang Pers, UU No 11 Tahun 2008 yang diperbarui dengan UU No 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), serta Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP).
Sedangkan medsos hanya terikat dengan UU ITE dan KUHP. Jadi, medsos lebih leluasa ketimbang media massa.
Strata sosial pembaca medsos juga lebih variatif, dari kelas bawah, menengah hingga atas. Sedangkan strata sosial pembaca media massa hanya kelas menengah hingga atas. Akibatnya, gaung medsos lebih kuat daripada media massa.
Maka medsos lebih mudah memicu emosi massa daripada media massa. Simak saja, banyak kerusuhan sosial yang dipicu oleh berita di medsos, baik hoaks maupun berita yang terverifikasi.
Itulah mengapa pemerintah sempat mengambil kebijakan pembatasan internet di Papua dan Papua Barat pada 19 dan 21 September 2019, supaya kerusuhan massa yang terjadi di sejumlah wilayah itu belum lama ini tidak meluas ke wilayah lain.
Ironisnya, pemerintah dinyatakan bersalah dan dihukum oleh Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta gara-gara melakukan pembatasan internet di Papua dan Papua Barat karena dinilai melanggar hak asasi manusia (HAM).
Kerusuhan sosial di sejumlah wilayah di Amerika Serikat (AS) hari-hari belakangan ini yang dipicu oleh kematian warga kulit hitam George Floyd akibat ulah oknum polisi kulit putih tidak akan semasif ini jika tidak didukung berita-berita di medsos.
Pertanyaannya kini, mengapa penyebaran hoaks di Indonesia tetap marak meski para pelakunya sudah ditangkap? Ini seperti yang terjadi dengan kasus narkotika dan terorisme. Mengapa?
Salah satunya karena Polri terlalu mengedepankan langkah represif melalui penegakan hukum atau "enforcement law" UU ITE dan KUHP.
Pemerintah tidak mengedepankan upaya preventif melalui langkah-langkah edukatif dan persuasif, misalnya melalui literasi digital.
Ya, masyarakat harus diedukasi melalui literasi digital supaya bisa membedakan mana berita hoaks dan mana berita faktual, sehingga bisa melakukan "saring" sebelum "sharing".
Masyarakat juga perlu diedukasi bagaimana cara membedakan mana hoaks dan mana berita faktual.
Pertama, dengan menggunakan logika dan akal sehat. Berita-berita yang tidak masuk akal kebanyakan adalah hoaks.
Kedua, dengan melakukan "cross check" atau cek silang ke medsos lain atau media massa "mainstream" (arus utama). Jika di media massa mainstream ada berita yang sama, patut diduga berita tersebut faktual, bukan hoaks. Itulah!
* Dr Drs H Sumaryoto Padmodiningrat MM: Mantan Anggota DPR RI.
Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email [email protected]
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.