Tribunners / Citizen Journalism
RUU HIP, Pancasila dan BPIP
Beberapa hari terakhir ini muncul polemik terkait RUU HIP (Haluan Ideologi Pancasila) yang tengah dibahas oleh parlemen
Kebijakan ekonomi kita pasca reformasi kian bercorak liberalis-kapitalis dan jauh dari pikiran-pikiran konsep ekonomi para founding fathers Indonesia.
Kelima, Ketentuan Pasal 34-Pasal 36, Pasal 37-Pasal 39 dan Pasal 57 sesungguhnya membatasi ideologi Pancasila dalam artikulasi dasar negara hanya pada aspek ilmu pengetahuan dan teknologi serta aspek kependudukan dan keluarga semata.
Jika melihat komposisi proporsionalitas pengaturan norma dalam RUU HIP dan dikaitkan dengan tugas dan fungsi BPIP dan konstruksi pemikiran GBHIP diberi judul RUU PIP (Pembinaan Ideologi Pancasila).
Rumusan GBHIP oleh BPIP 2019 terdapat beberapa perbaikan konsep sehingga perlu direkonstruksi sesuai dengan akar historis original pemikiran para pendiri bangsa.
Juga soal dasar yuridis GBHIP yang tidak sesuai dengan khierarki perundang-undangan, argumen alasan sosiologis belum dipertajam, nilai-nilai Pancasila sebagai pandangan hidup khususnya nilai internasionalisme yang dipersamakan dengan kemanusiaan, pokok-pokok pikiran Pancasila dan sumber modal pembangunan yang memasukkan TNI/Polri yang tidak relevan.
Pancasila dan BPIP
Pancasila dan BPIP ibarat dua sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan.
Pembentukan BPIP sejak 2018 melalui Perpres No. 7 Tahun 2018 yang sebelumnya bernama Unit Kerja Presiden Pembinaan Ideologi Pancasila (UKP-PIP) diberikan tugas dan fungsi sebagai “pengawal ideologi Pancasila” dalam penyelenggaraan negara dan pemerintahan.
Ini khususnya bagi pejabat negara dan pimpinan jabatan publik lainnya yang memiliki otoritas merumuskan kebijakan negara dan pemerintahan.
Tepat hari ini, 1 Juni 2020 diperingati sebagai hari jadi kelahiran Pancasila yang ke-75 sesuai Kepres No. 24 Tahun 2016 bertepatan dengan pidato Soekarno terkait dengan dasar negara pada 1 Juni 1945 dalam sidang BPUPKI (naskah akademik RUU HIP hanya menuliskan BPUPK tanpa huruf i).
Sidang BPUPKI sendiri berlangsung sejak 29 Mei hingga 1 Juni 1945, beberapa tokoh founding fathers juga menyampaikan ide dan gagasan pemikirannya terkait rancangan dasar negara Indonesia seperti Muhammad Yamin (29 Mei 1945), Mr. Soepomo (31 Mei 1945), dan Soekarno sendiri (1 Juni 1945) serta sumbangan pemikiran lainnya dari P.F. Dahlan dan Moh. Hatta.
Secara gagasan, rumusan dasar negara yang dipakai saat ini tidak ada yang sama persis termasuk pemikiran versi Soekarno yang disampaikan dalam pidatonya tersebut.
Namun patut dicatat bahwa Soeakrno yang pertama kali memberi nama kata “Pancasila” dalam pidatonya dengan urutan sila yaitu: 1. Nasionalisme atau Kebangsaan Indonesia; 2. Internasionalisme atau Peri Kemanusiaan; 3. Mufakat atau demokrasi; 4. Kesejahteraan sosial; dan 5. Ketuhanan yang berkebudayaan.
Rumusan dasar negara disusun oleh tim Sembilan yang diketua Soekarno yang dibentuk sejak 1 Juni 1945 dan dilaporkan hasilnya pada 22 Juni 1945 yang kemudian dikenal dengan istilah ‘Piagam Jakarta”.
Rumusan hasil piagam Jakarta dibawah lagi masuk dalam sidang BPUPKI yang berlangsung dari tanggal 10-16 Juli 1945.
Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email [email protected]
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.