Senin, 29 September 2025

Tribunners / Citizen Journalism

Tradisi Askida Ekmek di Turki dan Memuliakan Makna ''Berbagi''

Atas nama kebaikan, izinkan saya mengetuk Anda para pedagang (rumah makan, toko kelontong, dan lain-lain) mentradisikan “keranjang berbagi”.

moneysmart.id
ilustrasi sedekah 

Tak lama setelah kedatangan si miskin, datang seorang wanita membeli empat ekmek. Lagi-lagi, ia tampak mengeluarkan dua, dan mengamanahkan kepada penjual untuk dibagikan kepada yang membutuhkan.

Dengan senyum ramah, si penjual mengangguk dan memasukkan sedekah dua potong ekmek ke dalam keranjang gantung.

Seketika tersaji pelajaran budi pekerti yang sangat agung. Si kaya tidak kikir, si miskin tidak tamak, dan si penjual tidak khianat.

Begitu menyentuh tayangan tadi, membuat saya mencari tahu tradisi apa gerangan yang tampaknya begitu membudaya di kehidupan sehari-hari masyarakat Turki.

Dua kata saya dapat “askida ekmek”. Sebuah tradisi yang hidup zaman Kesultanan Utsmaniyah atau yang dikenal era Kekaisaran Ottoman (abad ke-XII). Saya pernah membaca seiris sejarah Turki di masa lalu.

Tradisi itu berawal dari seseorang yang datang membeli roti, lalu membayar seharga dua potong, meski ia hanya mengambil satu. Nah, roti yang satu oleh pembeli dibayar sebagai “askida ekmek” (roti yang ditangguhkan).

Kontribusi makanan bagi sesama itu akan terkumpul, hingga ada yang bertanya, “askida ekmek war mi?” (apakah ada roti yang ditangguhkan?). Si penanya niscaya langsung akan mendapatkan ekmek.

Baca: Kenang Sosok Erwin Prasetya, Ahmad Dhani Ungkap Pengaruhnya Kepada Musik Dewa 19

Baca: 5 Mahasiswa Indonesia di Rusia Terkonfirmasi Positif Covid-19

Tradisi mulia dari negeri “sejuta sejarah”. Ini pun mengingatkan saya akan sejumlah kunjungan saya ke negeri Eurasia itu.

Satu kali, singgah di Ankara dan Istanbul, menyaksikan herok anak-anak klub kebanggaan mereka Galatasaray menghadang laju raksasa Real Madrid pada laga Liga Champion tahun 2013. Saat itu, saya mendampingi Ketua Palang Merah Indonesia (PMI) M. Jusuf Kalla.

Berkali-kali juga saya transit di Bandara Atauruk Istanbul, untuk setidaknya ngaso sejenak saat akan melanjutkan perjalanan ke Amerika ataupun Eropa.

Dus, tradisi lama yang baik, memang tampak langgeng di sana. Termasuk saat kami membahas “diplomasi kopi” yang serasa tak bertepi.

April 2013, menemani Jusuf Kalla, kami sarapan di Restoran Gorkem Kilis Sofras, di tepi Laut Marmara. Pemilik restoran, Sadettin Ulubay, yang merupakan salah satu konglomerat di Istanbul, memperkenalkan cita rasa kopi Turki yang terkenal.

"Sebagai hidangan penutup, kami sajikan Turkish Coffea, yang kalau diminum cita rasanya akan bapak kenang selama 40 tahun," kata Ulubay sambil mengangkat sloki kopinya.

JK kemudian menyambut dengan mengatakan, "Kami juga di Indonesia memiliki macam-macam kopi yang terkenal, antara lain kopi luwak. Bedanya kalau kopi Turki bisa memberi kenangan selama 40 tahun, kopi kami di Indonesia cukup Anda kenang satu tahun saja. Karena itu, Anda harus datang ke Indonesia setiap tahun agar kenangan Anda tentang Indonesia tidak hilang," kata JK disambut tawa Ulubay.

Nah, bicara kopi, Anda harus melanjutkan membaca tulisan ini.

Halaman
1234

Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email [email protected]

Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.

Rekomendasi untuk Anda
AA

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
About Us Help Privacy Policy Terms of Use Contact Us Pedoman Media Siber Redaksi Info iklan