Senin, 29 September 2025

Tribunners / Citizen Journalism

Perlu Pendekatan Sistemik untuk Mengikis Intoleransi di dalam Dunia Pendidikan

Pendidikan merupakan proses transfer pengetahuan dari pendidik ke anak didik selain pengetahuan diperlukan juga pembinaan karakter bagi generasi muda

Editor: Toni Bramantoro
TRIBUN JABAR/GANI KURNIAWAN
Ilustrasi 

Pendidikan merupakan proses transfer pengetahuan dari pendidik ke anak didik selain pengetahuan diperlukan juga pembinaan karakter bagi generasi muda agar tidak salah menerapkan ilmunya.

Salah satu karakter penting yang perlu ditanamkan oleh dunia pendidikan adalah penghargaan terhadap keragaman.

Pengamat Pendidikan Nasional, Darmaningtyas mengatakan bahwa mengikis intoleran di dalam dunia pendidikan membutuhkan pendekatan yang komprehensif dan sistimatis kepada semua pihak termasuk tehadap para guru dan murid.

“Saya kira kita memerlukan pendekatan sistemik karena penyebarannya ini sudah terjadi sejak lama. Mahasiswa pada tahun 80-an kesini ini banyak yang menjadi guru itu kan kebanyakan sudah masuk ke kelompok kelompok yang bisa dikatakan garis keras. Ketika menjadi guru, mereka menularkan pandangan-pandangannya kepada murid-muridnya. Beda halnya  kalau sebelum  tahun 80-an yang mana tenaga pendidik atau guru-gurunya itu sudah lama dan belum terkontaminasi dengan paham paham radikal pada saat kuliah. Itu dari segi guru atau pengajarnya,” ujar Darmaningtyas.

Lebih lanjut Darmaningtyas mengungkapkan bahwa mulai pada tahun1980-an ini mulai terjadi proses formalisasi agama (agamanisasi) di lingkungan sekolah. Dan ini bukan hanya dalam pelajaran agamanya saja,  tetapi juga dalam praktek keseharian.

Kemudian pasca reformasi mulai banyak sekolah-sekolah yang berkaitan dengan agama bermunculan yang didirikan oleh kelompok agama ataupun partai politik. Hal inilah  yang berakibat munculnya bibit-bibit intoleransi secara masif.

“Dimana sekolah-sekolah itu pahannya berbeda sekali dengan paham kebangsaan yang seharusnya paham kebangsaan ini harus terus dikembangkan di sekolah-sekolah negeri. Apalagi kemudian ada Rohis (Rohani Islam) yang mentornya bukan guru agama melainkan dari para alumni yang sudah menjadi mahasiswa. Sudah rumit, tidak sesederhana seperti yang dibayangkan oleh banyak orang,” tutur Alumni Fakultas Filsafat, Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta tersebut.

Darmaningtyas juga menyampaikan bahwa ada beberapa penyebab timbulnya intoleransi di dunia pendidikan. Seperti soal pemahaman terhadap ayat-ayat yang ada di dalam Al Quran dan lain sebagainya. Lalu yang menurutnbya sejak tahun  90-an kesadaran masyarakat untuk beragama dan memahami agamanya itu mulai terlihat meningkat. 

“Contohnya  kalau sebelum tahun 90-an itu mungkin kita mendapatkan mahasiswi atau siswi yang berjilbab itu sangat jarang. Tetapi kalau sekarang kita banyak mendapatkan dan menjumpai  mahasiswi atau murid wanita  yang berjilbab. Artinya apa ? Kesadaran indidu masyarakat untuk beragama itu meningkat,” ujarnya.

Namun demikian menurutnya dalam proses peningkatan kesadaran beragamnya itu itu tentu ada yang pemahaman agamanya itu berbeda dengan pemahaman kebanyakan orang.

“Dalam artian masing-masing orang itu  berbeda-beda terhadap  keyakinan atau terhadap ayat-ayatnya. Nah itulah yang terjadi hingga hari ini,” kata pria yang juga anggota Dewan Penasehat CBE (Center for the betterment of Education) itu.

Dalam kesempatan tersebut Darmaningtyas juga menanggapi terkait berita yang ramaidiperbincangkan terkait ada sekolah yang mengeluarkan siswanya karena mengucapkan selamat ulang tahun kepada siwa yang berlainan jenis.

Meskipun kejadian itu terjadi di sekolah swasta, namun menurutnya peraturan sekolahnya itu sendiri juga harus dikritisi, Karena mengucapkan selamat menurutnya,  baik itu disampaikan terhadap lawan jenis meskipun berbeda suku, agama adalah suatu tindakan kebaikan yang tentunya harus dikembangkan di sekolah-sekolah.

“Jangan malah siswa yang berbuat baik malah dikenai sanksi. Karena produk atau lulusan dari sekolah swasta itu nanti juga akan terjun ke masyarakat. Kalau kemudian pemahaman menjadi sempit tentunya nanti sebagiaan masyarakat juga akan memiliki pemahaman yang terlalu sempit,” ujar Wakil Ketua Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) periode 2010-2012)

Selain itu untuk menangkal intoleransi yang ada dan tumbuh di lingkungan sekolah negeri, , pria kelahiran Gunung Kidul, 9 September 1962 ini juga menyampaikan bahwa sekolah negeri harus memiliki ruang yang terbuka terhadap siapaun. Hal tersebut terlihat di masa sebelum tahun 2000-an, di mana sekolah negeri itu menjadi pilihan utama para orang tua yang ingin menyekolahkan anaknya tanpa ada hambatan-hambatan terkait soal agama, soal ras, golongan dan sebagainya.

Halaman
12

Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email [email protected]

Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.

Rekomendasi untuk Anda
AA

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
About Us Help Privacy Policy Terms of Use Contact Us Pedoman Media Siber Redaksi Info iklan