Jumat, 3 Oktober 2025

Tribunners / Citizen Journalism

Menimbang Proporsional Tuduhan FPI Pada Gus Muwafiq

Laporan di Bareskrim Polri tersebut dibuat atas nama Amir Hasanudin yang juga anggota DPP FPI. Ceramah Gus Muwafiq dianggap menghina Rasullah.

Editor: Husein Sanusi
Istimewa
KH. Imam Jazuli, Lc. MA, Alumnus Univeraitas al Azhar Mesir, Pengasuh Pondok Pesantren Bina Insan Mulia, Wakil Ketua Rabithah ma'ahid Islamiyah- asosiasi pondok pesantren se Indonesia- Pengurus Besar Nahdlatul ulama (PBNU) periode 2010-2015. 

Kemudian Sang Kakek membawanya berobat kepada salah satu  tabib (dokter) kenamaan saat itu. Namun justru dari tabib inilah ia mendapat kabar bahwa berairnya mata Nabi bagian dari tanda-tanda kenabian. (Mahmud Muhammad Khattab Subkhi, Al-Manhal Al-Maurud 9: 98-99).

Keterangan mengenai sakit matanya Nabi saat kecil dan sifat-sifat manusiawi lainnya, bisa juga ditemukan pada kitab lain, misalnya Muhammad bin Yusuf Salhi Shami, Sabilul Huda 2: 134; Ali Burhanuddin Halabi, Sirah Al-Halabiyah 3: 487 dan seterusnya.  

Tentu saja, yang sedikit menjadi problem jika kita melihat sejarah Nabi hanya sebatas sifat manusiawinya saja, sebagaimana yang sering ditulis oleh para orientalis, yang alpa akan sisi kehidupan Nabi secara theologis.

Jadi masukan Kiai sepuh NU seperti Kiai Miftakhul Akhyar kepada Gus Muwafiq dinilai juga cukup beralasan, ketika beliau seperti mengesampingkan sisi lain, yaitu kejadian luar biasa (irhash) seperti adanya cahaya saat Nabi dilahirkan; Sang Ṭāhā (yakni Muhammad saw.) tidak pernah mimpi basah sama sekali; dan tak pernah menguap sepanjang masa; Binatang-binatang tak melarikan diri dari beliau dan lalat tak hinggap di tubuh indah beliau; Beliau melihat sesuatu yang ada di belakangnya sebagaimana yang ada di hadapannya dan seterusnya.

Selain ungkapan ini dikhawatirkan akan menggerus rasa cinta dan rindu kita pada Nabi, catatan sejarah yang berdoktrin theologisi itu ternyata juga ditulis banyak oleh para sejarawan di kitab-kitab klasik.

Misalnya pada Kitab an-Nikmat al-Kubro yang menggambarkan bagaimana kondisi bumi waktu itu, saat Nabi dilahirkan, ada semacam cahaya benderang yang turun kebumi, bahkan menembus atap rumah Nabi (hal. 14-15). Lalu pada kitab Sirah al-Halabiyah, yang juga membahas sisi manusiawinya Nabi, juga menjelaskan hal luar biasa, misalnya Siti Aminah, ibunda Nabi melihat cahaya itu keluar bersamaan Nabi, sampai menerangi kota syam, Busro, bahkan seluruh semesta (hal. 24-25).

Tentu saja terlepas dari perdebatan sisi antropologis dan theologis, sudah seyogyanya tiap penceramah, apalagi yang berpotensi viral, harus lebih hati-hati dalam setiap katanya.

Sebab membicarakan kehidupan Nabi tanpa sisi theologi bisa melewati batas adab dan sopan santun pada Nabi, yang amat cintanya pada umatnya (kita).

Sementara bagi pemirsa atau pendengar (mustami'), sekiranya harus lebih bijaksana dalam merespon. Tidak hanya mencari kesalahan atau titik lemah dari seorang dai, lalu diperdebatkan, dibunuh karakternya, bahkan "nekat" dibawa ke meja hijau.

Masih ada sesuatu yang paling berharga di tengah perbedaan pandangan, yaitu ukhuwah Islamiah. Wallahu'alam Bishawab.  

*Penulis adalah Alumni Universitas al-Azhar, Mesir; Pengasuh Pondok Pesantren Bina Insan Mulia; Wakil Ketua Rabithah Ma’ahid Islamiyah (Asosiasi Pondok Pesantren se-Indonesia); Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Periode 2010-2015.

Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email [email protected]

Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.

Rekomendasi untuk Anda
AA

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved