Tribunners / Citizen Journalism
Menimbang Proporsional Tuduhan FPI Pada Gus Muwafiq
Laporan di Bareskrim Polri tersebut dibuat atas nama Amir Hasanudin yang juga anggota DPP FPI. Ceramah Gus Muwafiq dianggap menghina Rasullah.
Menimbang Proporsional Tuduhan FPI Pada Gus Muwafiq
Oleh KH. Imam Jazuli, Lc. MA.
Jalan menuju rekonsialiasi Nasional, terutama umat Islam dari kelompok NU dan FPI yang digagas Kiai Said Aqil Siroj (PBNU) belum lama ini menemukan jalan terjal.
Kiai Said menyampaikan itu dalam acara istigasah untuk Indonesia aman dan damai di Kantor PBNU, Jalan Kramat Raya, Senen, Jakarta Pusat, Rabu (30/10/2019).
Istigasah yang dihadiri sejumlah ulama itu diisi selawat dan doa-doa. Kendati Gus Muwafiq sudah memohon maaf, FPI tak bergeming dan secara resmi telah melaporkan Gus Muwafiq, penceramah dari kalangan NU ke Bareskrim Polri, atas tuduhan menistakan agama melalui ceramahnya, Selasa (3/12/2019).
Laporan di Bareskrim Polri tersebut dibuat atas nama Amir Hasanudin yang juga anggota DPP FPI. Aziz Yanuar selaku kuasa hukum mengklaim, ceramah Gus Muwafiq di Purwodadi, Jawa Tengah beberapa waktu lalu dianggap menghina Rasullah.
"Kami melaporkan dugaan penistaan agama yang dilakukan oleh Muwafiq beberapa waktu lalu. Dalam ceramahnya, Muwafiq mengatakan Nabi Muhammad "rembes"—bisa diartikan banyak. Bahwa Rasullulah itu sifatnya dekil, kumel, kotor, dan sifat-sifat yang negatif. Buat kami, itu termasuk dalam pelecehan Nabi dan kami sangat marah." Klaim Aziz.
Tentu saja yang menghawatirkan atas pelaporan itu adalah latar belakang Ormas ini yang sering bersebrangan dengan NU.
Maka, harapan untuk rekonsiliasi semakin menjadi utopis. Apalagi secara konteks,isi ceremah Gus Muwafiq masih bisa dimaklumi oleh mayoritas Nahdliyin. Apalagi kata "rembes" tidak mesti terkesan negatif dan kotor, akan tetapi sebagai sebuah kewajaran anak kecil dengan sifat basyariyahnya. Keumuman sifat dan prilaku ini juga ditopang dengan doktrin kitab suci.
Misalnya, ayat yang memerintah beliau untuk menyatakan bahwa dirinya adalah manusia seperti manusia pada umumnya, dengan sifat-sifat manusia yang lumrah (18/al-Kahf: 110 dan 41/Fussilat: 6); bahwa beliau mungkin akan putus asa karena orang tidak mau percaya kepadanya (18/al-Kahf: 6 dan 26/al-Syu‘arā’: 3); bahwa beliau terlibat percekcokan sengit dengan beberapa istrinya (66/al-Taḥrīm: 1-5); dan bahwa beliau lebih mementingkan para pemuka masyarakat sehingga melalaikan orang yang papa (80/’Abasa: 1-10).
Tak dipungkiri ayat-ayat di atas khitab-nya adalah Nabi sebagai manusia biasa, sebagaimana umumnya manusia, dengan sifat-sifat yang tak bisa dihindari, terkesan negatif.
Tetapi tentu perspektif ini tidak boleh dibiarkan sendiri, tanpa melihat Nabi sebagai pribadi yang paripurna, dengan segala kemukjizatannya.
Atau dengan bahasa lebih ilmiah, sisi kemanusian Nabi secara antropologi, masih harus disempurnakan dengan menempatkan Nabi secara thelogi.
Karena itu, saat Gus Muwafiq mengatakan bahwa Nabi kecil itu "rembes", ini adalah wilayah antropologi-sejarah, yang para penulis Islam klasik telah memaparkan sisi-sisi lain secara proposional.
Kembali pada kata "rembes" yang menjadi keberatan dan tuduhan pelecehan oleh FPI, ternyata dari berbagai kitab klasik ditemukan kata "Romadun Syadidun", yang maknanya menyerupai rembes, yaitu sakit mata (ophtalmia) yang dialami Nabi ketika masih berumur sekitar tujuh tahun.
Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email [email protected]
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.