Jumat, 3 Oktober 2025

Tribunners / Citizen Journalism

Menimbang Proporsional Tuduhan FPI Pada Gus Muwafiq

Laporan di Bareskrim Polri tersebut dibuat atas nama Amir Hasanudin yang juga anggota DPP FPI. Ceramah Gus Muwafiq dianggap menghina Rasullah.

Editor: Husein Sanusi
Istimewa
KH. Imam Jazuli, Lc. MA, Alumnus Univeraitas al Azhar Mesir, Pengasuh Pondok Pesantren Bina Insan Mulia, Wakil Ketua Rabithah ma'ahid Islamiyah- asosiasi pondok pesantren se Indonesia- Pengurus Besar Nahdlatul ulama (PBNU) periode 2010-2015. 

Menimbang Proporsional Tuduhan FPI Pada Gus Muwafiq

Oleh KH. Imam Jazuli, Lc. MA.

Jalan menuju rekonsialiasi Nasional, terutama umat Islam dari kelompok NU dan FPI yang digagas Kiai Said Aqil Siroj (PBNU) belum lama ini menemukan jalan terjal.

Kiai Said menyampaikan itu dalam acara istigasah untuk Indonesia aman  dan damai di Kantor PBNU, Jalan Kramat Raya, Senen, Jakarta Pusat, Rabu (30/10/2019).

Istigasah yang dihadiri sejumlah  ulama itu diisi selawat dan doa-doa. Kendati Gus Muwafiq sudah memohon maaf, FPI tak bergeming dan secara resmi  telah melaporkan Gus Muwafiq, penceramah dari kalangan NU ke Bareskrim Polri, atas tuduhan menistakan agama melalui  ceramahnya, Selasa (3/12/2019).

Laporan di Bareskrim Polri tersebut dibuat atas nama Amir Hasanudin yang juga anggota DPP FPI. Aziz Yanuar selaku  kuasa hukum mengklaim, ceramah Gus Muwafiq di Purwodadi, Jawa Tengah beberapa waktu lalu dianggap menghina  Rasullah.

"Kami melaporkan dugaan penistaan agama yang dilakukan oleh Muwafiq beberapa waktu lalu. Dalam ceramahnya, Muwafiq mengatakan Nabi Muhammad "rembes"—bisa diartikan banyak. Bahwa Rasullulah itu sifatnya dekil,  kumel, kotor, dan sifat-sifat yang negatif. Buat kami, itu termasuk dalam pelecehan Nabi dan kami sangat marah." Klaim Aziz.

Tentu saja yang menghawatirkan atas pelaporan itu adalah latar belakang Ormas ini yang sering bersebrangan dengan  NU.

Maka, harapan untuk rekonsiliasi semakin menjadi utopis. Apalagi secara konteks,isi ceremah Gus Muwafiq masih  bisa dimaklumi oleh mayoritas Nahdliyin. Apalagi kata "rembes" tidak mesti terkesan negatif dan kotor, akan tetapi  sebagai sebuah kewajaran anak kecil dengan sifat basyariyahnya. Keumuman sifat dan prilaku ini juga ditopang dengan  doktrin kitab suci.

Misalnya, ayat yang memerintah beliau untuk menyatakan bahwa dirinya adalah manusia seperti manusia pada umumnya,  dengan sifat-sifat manusia yang lumrah (18/al-Kahf: 110 dan 41/Fussilat: 6); bahwa beliau mungkin akan putus asa  karena orang tidak mau percaya kepadanya (18/al-Kahf: 6 dan 26/al-Syu‘arā’: 3); bahwa beliau terlibat percekcokan  sengit dengan beberapa istrinya (66/al-Taḥrīm: 1-5); dan bahwa beliau lebih mementingkan para pemuka masyarakat  sehingga melalaikan orang yang papa (80/’Abasa: 1-10).

Tak dipungkiri ayat-ayat di atas khitab-nya adalah Nabi sebagai manusia biasa, sebagaimana umumnya manusia, dengan  sifat-sifat yang tak bisa dihindari, terkesan negatif.

Tetapi tentu perspektif ini tidak boleh dibiarkan sendiri,  tanpa melihat Nabi sebagai pribadi yang paripurna, dengan segala kemukjizatannya.

Atau dengan bahasa lebih ilmiah,  sisi kemanusian Nabi secara antropologi, masih harus disempurnakan dengan menempatkan Nabi secara thelogi.

Karena  itu, saat Gus Muwafiq mengatakan bahwa Nabi kecil itu "rembes", ini adalah wilayah antropologi-sejarah, yang para  penulis Islam klasik telah memaparkan sisi-sisi lain secara proposional.

Kembali pada kata "rembes" yang menjadi keberatan dan tuduhan pelecehan oleh FPI, ternyata dari berbagai kitab  klasik ditemukan kata "Romadun Syadidun", yang maknanya menyerupai rembes, yaitu sakit mata (ophtalmia) yang dialami Nabi ketika masih berumur sekitar tujuh tahun.

Kemudian Sang Kakek membawanya berobat kepada salah satu  tabib (dokter) kenamaan saat itu. Namun justru dari tabib inilah ia mendapat kabar bahwa berairnya mata Nabi bagian dari tanda-tanda kenabian. (Mahmud Muhammad Khattab Subkhi, Al-Manhal Al-Maurud 9: 98-99).

Keterangan mengenai sakit matanya Nabi saat kecil dan sifat-sifat manusiawi lainnya, bisa juga ditemukan pada kitab lain, misalnya Muhammad bin Yusuf Salhi Shami, Sabilul Huda 2: 134; Ali Burhanuddin Halabi, Sirah Al-Halabiyah 3: 487 dan seterusnya.  

Tentu saja, yang sedikit menjadi problem jika kita melihat sejarah Nabi hanya sebatas sifat manusiawinya saja, sebagaimana yang sering ditulis oleh para orientalis, yang alpa akan sisi kehidupan Nabi secara theologis.

Jadi masukan Kiai sepuh NU seperti Kiai Miftakhul Akhyar kepada Gus Muwafiq dinilai juga cukup beralasan, ketika beliau seperti mengesampingkan sisi lain, yaitu kejadian luar biasa (irhash) seperti adanya cahaya saat Nabi dilahirkan; Sang Ṭāhā (yakni Muhammad saw.) tidak pernah mimpi basah sama sekali; dan tak pernah menguap sepanjang masa; Binatang-binatang tak melarikan diri dari beliau dan lalat tak hinggap di tubuh indah beliau; Beliau melihat sesuatu yang ada di belakangnya sebagaimana yang ada di hadapannya dan seterusnya.

Selain ungkapan ini dikhawatirkan akan menggerus rasa cinta dan rindu kita pada Nabi, catatan sejarah yang berdoktrin theologisi itu ternyata juga ditulis banyak oleh para sejarawan di kitab-kitab klasik.

Misalnya pada Kitab an-Nikmat al-Kubro yang menggambarkan bagaimana kondisi bumi waktu itu, saat Nabi dilahirkan, ada semacam cahaya benderang yang turun kebumi, bahkan menembus atap rumah Nabi (hal. 14-15). Lalu pada kitab Sirah al-Halabiyah, yang juga membahas sisi manusiawinya Nabi, juga menjelaskan hal luar biasa, misalnya Siti Aminah, ibunda Nabi melihat cahaya itu keluar bersamaan Nabi, sampai menerangi kota syam, Busro, bahkan seluruh semesta (hal. 24-25).

Tentu saja terlepas dari perdebatan sisi antropologis dan theologis, sudah seyogyanya tiap penceramah, apalagi yang berpotensi viral, harus lebih hati-hati dalam setiap katanya.

Sebab membicarakan kehidupan Nabi tanpa sisi theologi bisa melewati batas adab dan sopan santun pada Nabi, yang amat cintanya pada umatnya (kita).

Sementara bagi pemirsa atau pendengar (mustami'), sekiranya harus lebih bijaksana dalam merespon. Tidak hanya mencari kesalahan atau titik lemah dari seorang dai, lalu diperdebatkan, dibunuh karakternya, bahkan "nekat" dibawa ke meja hijau.

Masih ada sesuatu yang paling berharga di tengah perbedaan pandangan, yaitu ukhuwah Islamiah. Wallahu'alam Bishawab.  

*Penulis adalah Alumni Universitas al-Azhar, Mesir; Pengasuh Pondok Pesantren Bina Insan Mulia; Wakil Ketua Rabithah Ma’ahid Islamiyah (Asosiasi Pondok Pesantren se-Indonesia); Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Periode 2010-2015.

Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email [email protected]

Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.

Rekomendasi untuk Anda
AA

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved