Tribunners / Citizen Journalism
Jalan Tengah Untuk FPI
Kemenag dan Kemendagri memiliki tugas pokok berbeda dan masing-masing harus sama-sama diyakinkan.
Rakyat kecil yang tidak punya kekuasaan itu memiliki mekanismenya sendiri, yang berbeda dari pemerintah. Dengan kata lain, FPI masih bisa pulang ke dalam rangkulan masyarakat, bukan saja pemerintah, jika setidaknya memenuhi beberapa catatan berikut.
Pertama, kita bisa menerima FPI kembali berjuang selama bersedia mengubah AD/ART organisasinya, yang semula pro khilafah menjadi pro Pancasila. Tentu tidak serta mengubah dengan mendeletenya, tetapi harus terlebih dahulu melalui mekanisme kongres internal organisasinya.
Kedua, kita juga mau merangkul FPI asalkan mengubah metode dakwahnya yang lebih menekankan strategi nahi mungkar. Untuk apa ada UUD ’49 dan seluruh aturan perundang-undangan turunannya jika konsep nahi mungkar FPI berbeda dengan undang-undang negara. FPI hanya akan merecoki jalannya negara dan pemerintahan. Potensi destruktif, kekerasan fisik dan verbal, akan terus menghantui. Nahi mungkar harus diarahkan ke strategi yang persuasif.
Ketiga, FPI harus duduk dengan kepala dingin bersama ormas-ormas lain, misalnya Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah, dan lainnya. Bersama-sama menyatukan persepsi dalam membangun bangsa dan negara. Menyatukan persepsi untuk saling menghormati dan menghargai perbedaan. Apa susahnya bekerjasama antar organisasi atau kerjasama antara ormas dan pemerintah jika tujuannya sama: membangun bangsa dan negara?
Hemat penulis, inilah jalan tengah dari kemelut perizinan FPI. Jika demokrasi kita maknai sebagai berpendapat dengan kepala dingin, tentu saja FPI tidak hanya akan mampu melunakkan hati Kemenag, melainkan seluruh elemen pemerintah (Kemendagri dan Kemenko Polhukam) dan masyarakat (Ormas-ormas Islam). 52.000 cuitan netizen yang menolak keras SKT FPI bukan saja suara umat muslim. Ini harus dicatat. Tetapi, di sana juga ada suara orang-orang non-muslim. Ini artinya, FPI menakutkan bagi umat muslim maupun non-muslim.
Ketakutan publik muslim dan non-muslim adalah alasan kuat bagi Kemendagri dan Kemenko Polhukam untuk mengorbankan waktunya melakukan rapat berkali-kali, mencari kepastian dan strategi, sebelum mengambil keputusan. Berilah pemerintah sedikit waktu lagi untuk berpikir lebih bijaksana, jangan grusa-grusu. Inilah makna hidup berdemokrasi. Supaya bukan saja pemerintah yang merasa tenang dan nyama, melainkan masyarakat luas pun demikian.*
*penulis adalah alumni Universitas Al-Azhar, Mesir; Pengasuh Pondok Pesantren Bina Insan Mulia, Cirebon; Wakil Ketua Pimpinan Pusat Rabithah Ma’ahid Islamiyah (Asosiasi Pondok Pesantren se-Indonesia); Pengurus Besar Nahdlatul Ulama Periode 2010-2015.
Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email [email protected]
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.