Tribunners / Citizen Journalism
Tentang Polemik Bermain Catur, KH Imam Jazuli Ulas Sejarah dan Hukumnya
Tetapi, apakah ulama hadits ini mengharamkan catur (syathranj)? Tidak! As-Sakhawi mengawali pembahasan kitab Umdah ini dengan membahas asal usul
Editor:
Husein Sanusi
Bagaimana hukum bermain catur dalam ajang Olimpiade dan olahraga? Ada empat macam hukum permainan catur:
Pertama, haram. Mazhab Maliki dan Hanafi mengharamkan kejuaraan (musabaqah) catur, seperti pendapat al-Halimi dan ar-Riwayani.
Kedua, makruh. Mazhab Hanbali menghukumi makruh kejuaraan catur, dengan syarat tidak ada kepentingan maslahat mendesak.
Ketiga, halal. Mazhab Syafi’i: perlombaan catur adalah halal (Abdurrahman al-Jaziri, al-fiqh al al-mazahib al-arba’ah, Beirut: Dar al-Arqam, jilid, 5, hlm. 58).
Keempat, mubah. Abu Yusuf dari mazhab Syafi’i dan sebagian ulama dari mazhab Maliki mengatakan hukum catur itu mubah, karena asal semua perkara adalah mubah sebelum diharamkan oleh dalil (al-Mawsu’ah al-Fiqhiyah, jilid. 5, hlm. 269-271).
Alasan mazhab Maliki dan Hanafi mengaramkan catur dapat dimaklumi. Bidak-bidak catur pada zaman itu berbentuk tamasil (patung-patung, manusia dan binatang). Pada zaman Imam as-Shuli, bidak catur yang menyerupai tamasil sudah jarang digunakan. As-Shuli sebagai ulama Syafi’iyah tidak lagi menemukan alasan logis hukum haram permainan catur (Abun Nashr Abdul Wahhab bin Ali in Abdul Kafi as-Subki, Thabaqat as-Syafi’iyah al-Kubra, jilid. 4, hlm. 341).
Hukum haram dalam mazhab Maliki dan Hanafi sebenarnya tidak saklek. Karena itulah, ada sebagian ulama mazhab Maliki dan Hanafi menghukumi catur sebagai makruh. Jika catur tidak menimbulkan perbuatan dosa dan maksiat, tidak terjadi perjudian, tidak membuat seseorang lalai kewajiban, maka bermain catur adalah makruh (al-Mawsu’ah al-Fiqhiyah, jilid. 5, hlm. 269-271).
Seorang da’i dan penceramah penting belajar dan memahami illatul hukm, yaitu argumen dan logika di balik hukum, supaya tidak sembarang berfatwa. Lebih baik diam dari pada harus berfatwa dengan pengetahuan yang tidak holistik.
Tahun 2017, Ustad Abdul Somad menyatakan tidak setuju permainan catur masuk cabang olahraga. Padahal, bab olahraga dibahas terpisah dalam kitab fiqih dari bab tentang permainan. Illat berubah, hukum pun berubah. Di jaman kita sekarang, mazhab Syafi’i yang menghalalkan perlombaan catur lebih cocok.
Ingatlah, sebuah negara yang menyabet juara di tingkat internasional pasti akan bangga. Olahraga tidak lagi sebatas soal hiburan dan kebugaran fisik melainkan juga soal nasionalisme dan kebangsaan. Bacalah sejarah Presiden Soekarno yang menjadikan ajang Asian Games sebagai “Jihad” melawan kolonialisme, seperti Israel.
Di jaman sekarang, membela agama dan negara tidak cukup berteriak-teriak di jalanan dan mengibar-ngibarkan bendera. Tetapi harus lebih elegan, yakni dengan menempa skill dan meraih juara di setiap ajang perlombaan, termasuk sport otak permainan catur. Para atlet bangsa bukan saja pejuang nasional melainkan juga mujahidin fi sabilillah.*
*Penulis adalah alumni Universitas Al-Azhar, Mesir; Pengasuh Pondok Pesantren Bina Insan Mulia, Cirebon; Wakil Ketua Pimpinan Pusat Rabithah Ma’ahid Islamiyah (Asosiasi Pondok Pesantren se-Indonesia); Pengurus Besar Nahdlatul Ulama Periode 2010-2015.
Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email [email protected]
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.