Selasa, 30 September 2025

Tribunners / Citizen Journalism

Tentang Polemik Bermain Catur, KH Imam Jazuli Ulas Sejarah dan Hukumnya

Tetapi, apakah ulama hadits ini mengharamkan catur (syathranj)? Tidak! As-Sakhawi mengawali pembahasan kitab Umdah ini dengan membahas asal usul

Editor: Husein Sanusi
Istimewa
KH Imam Jazuli 

Membedah Hukum Dan Sejarah Main Catur 

Oleh: KH. Imam Jazuli, Lc. MA*

Seorang ulama besar yang ahli fikih, ahli hadits, juga sejarawan tidak mengharamkan catur. Itulah Abul Khair Syamsuddin Muhammad bin Abdurrahman as-Sakhawi as-Syafi’i (w. 1497 M.) dalam kitabnya Umdah al-Muhtaj fi Hukm as-Syuthranji (Qathar: National Library, 2018). Naskah manuskripnya ada di Perpustakaan Inggris dengan kode Or9227.

Imam as-Sakhawi adalah ulama terkemuka dalam mazhab Syafi’iyah. Kitab-kitab hadits yang dikarangnya sangat banyak: al-maqashid al-hasanah fi al-ahadits al-musytahirah, al-akhbar al-mukalalah fi al-ahadits al-musalsalah, al-ghayah fi syarhi al-hidayah fi ilm al-riwayah, syarh asy-syama’il an-nabawiyah li at-tirmidzi, at-tuhfah al-munifah fima waqa’a min haditsi abi Hanifah, fathu al-mughits bi syarhi alfiyati al-hadits, dan al-Qaul al-badi’ fi fadhi as-shalati ala al-habib asy-syafi’i.

Tetapi, apakah ulama hadits ini mengharamkan catur (syathranj)? Tidak! As-Sakhawi mengawali pembahasan kitab Umdah ini dengan membahas asal usul nama permainan catur. Syithranj berasal dari bahasa Persia yang diarabkan dengan mengkasrahkan huruf pertama: Syithranj. Sebagian ulama seperti al-Muhkam, al-Maththarizi, dan al-Jawaliqi, lebih memilih harkat fathah: Syathranj.

Pencipta pertama kali catur, menurut as-Sakhawi, adalah Raja India bernama Lalimit yang bergelar Syihram. Catur menyebar dari India ke Persia, dan Bangsa Arab baru mengenalnya setelah penaklukan negeri-negeri tersebut.

Tetapi, as-Sakhawi mengutip versi lain dari Ka’ab. Menurut Ka’ab, orang pertama yang bermain catur adalah Yusa’ bin Nun dan Kalib bin Yuqana, kemudian dipopulerkan oleh Qarun. Orang-orang Persia belajar dari Yusa’ bin Nun ini. Tentang Yusa’ dan Kalib ini, Allah mengabadikannya dalam al-Quran ayat 23 surat al-Maidah.

Logika adalah ruh permainan catur ini. As-Sakhawi mengkritik tuduhan sentimentil Ibnu Taimiyah terhadap orang Yahudi. Suatu Ibnu Taimiyah berkata pada ar-Rasyid Yusuf bin Abil Bayan, “wahai Rasyid, dusta pertama yang dilakukan oleh orang Yahudi menurut Ibnu Hazm adalah informasi mereka bahwa mereka masuk Mesir pertama kali sejumlah 72 orang di zaman Nabi Yusuf, kemudian keluar dari Mesir di zaman Nabi Musa  bin Imran sejumlah 600.000 orang.”

Ar-Rasyid menjawab: “apakah Ibnu Hazm seorang sahabat?” Ibnu Taimiyah: “bukan!” “Apakah dia tabiin?” “Bukan juga!” ar-Rasyid menjelaskan: “kalau begitu, Ibnu Hazm itu tidak tahu apa-apa. “Kenapa begitu?,” tanya Ibnu Taimiyah. “Karena dua kali dua adalah empat.” “Terus?” “dan kotak pada papan catur itu 64. Jika kau kalikan maka hasilnya akan didapatkan sekian-sekian. Orang Yahudi itu 72 orang, tapi yang belum dihitung adalah kaum perempuan, anak kecil, dan orang-orang lanjut usia!” Ibnu Taimiyah pun bungkam dalam membela pandangan gurunya, Ibnu Hazm.

Di dunia Islam, permainan catur pertama kali diperkenalkan oleh seorang sahabat Nabi saw, yakni Amr bin Ash. As-Sakhawi meriwayatkannya dari Abu Thib Ahmad bin Muhammad al-Mishri, dari al-Muhib Muhammad bin Muhammad Sama’a, dari Ahmad bin Ali, dari Ibrahim bin Khalil, dari Ismail al-Janzawi, syaikhani Abul Hasan al-Aliyan bin Ahmad Manshur dan Ibnu Musallam, dari Ahmad bin Abdul Wahid bin Muhammad bin Ahmad bin Abul Hadid, dari kakeknya, dari Muhammad bin Ja’far bin Sahal, dari Hammad bin Ishaq, saudara Ismail bin Ishaq al-Qadhi, dari Ismail bin Abu Uwais, ia berkata: saya mendengar Anas bin Malik ra berkata: “orang pertama yang membawa kitab dan syathranj adalah Amr bin Ash demi mempelajari ilmu tentang kerajaan.”

Selanjutnya, kitab Umdatul Muhtaj fi Hukm as-Syathranji ini mengkritik hadits-hadits yang negatif memandang permainan catur. Pertama, hadits dari Abdullah bin Mas’ud, dari Nabi saw yang bersabda: “barang siapa bermain catur, dia mendekati kesyirikan. Allah melarang kesyirikan. Orang syirik seperti terjatuh dari langit.” Hadits ini terdapat dalam Musnad al-Firdaus karangan Abu Manshur ad-Dilami. Di dalam sanad hadits ini terdapat Abu Ishmah Nuh bin Abu Marya, yang dicurigai suka berdusta.

Kedua, hadits dari Anas bin Malik, dari Nabi saw, beliau bersabda: “barang siapa bermain catur, maka ia telah bermaksiat kepada Allah dan Rasul-Nya.” Menurut  Musnad al-Firdaus, dalam sanad hadits ini ada Sam’an bin al-Mahdi, dari Anas bin Malik. Ini adalah riwayat dusta.

Ketiga, Nabi saw bersabda: “terlaknatlah orang yang bermain catur.” Ini diriwayatkan oleh ad-Dilami dari Ibad bin Abdul Somad. Imam Nawawi berpendapat, hadits ini tidak sah.

Keempat, Ibnu Hazm meriwayatkan dari Abdul Mulk bin Habib, dari Asad bin Musa dan Ali bin Ma’bad, dari Ibnu Juraij, dari Habbah bin Salam, dari Nabi saw, beliau bersabda: “catur adalah permainan terlaknat. Terlaknat pula orang yang memainkannya. Orang yang menonton permainan catur seperti pemakan daging babi.” Menurut Uqbah, nama Habbah ini tidak diketahui identitasnya, sedangkan Ibnu Habib tidak bisa dipertimbangkan. Hadits ini dha’if-munqathi’.

Empat hadits di atas hanya sampel-sampel kecil yang disampaikan di sini. As-Sakhawi membahas puluhan hadits dha’if, maudhu’ dan munkar lainnya tentang permainan catur ini. As-Sakhawi mengutip pendapat Ibnu Abi Hatim, “saya mendengar ayah berkata: aku tidak menemukan satu pun hadits shahih tentang permainan catur ini.”

Bagaimana hukum bermain catur dalam ajang Olimpiade dan olahraga? Ada empat macam hukum permainan catur:

Pertama, haram. Mazhab Maliki dan Hanafi mengharamkan kejuaraan (musabaqah) catur, seperti pendapat al-Halimi dan ar-Riwayani.

Kedua, makruh. Mazhab Hanbali menghukumi makruh kejuaraan catur, dengan syarat tidak ada kepentingan maslahat mendesak.

Ketiga, halal. Mazhab Syafi’i: perlombaan catur adalah halal (Abdurrahman al-Jaziri, al-fiqh al al-mazahib al-arba’ah, Beirut: Dar al-Arqam, jilid, 5, hlm. 58).

Keempat, mubah. Abu Yusuf dari mazhab Syafi’i dan sebagian ulama dari mazhab Maliki mengatakan hukum catur itu mubah, karena asal semua perkara adalah mubah sebelum diharamkan oleh dalil (al-Mawsu’ah al-Fiqhiyah, jilid. 5, hlm. 269-271).

Alasan mazhab Maliki dan Hanafi mengaramkan catur dapat dimaklumi. Bidak-bidak catur pada zaman itu berbentuk tamasil (patung-patung, manusia dan binatang). Pada zaman Imam as-Shuli, bidak catur yang menyerupai tamasil sudah jarang digunakan. As-Shuli sebagai ulama Syafi’iyah tidak lagi menemukan alasan logis hukum haram permainan catur (Abun Nashr Abdul Wahhab bin Ali in Abdul Kafi as-Subki, Thabaqat as-Syafi’iyah al-Kubra, jilid. 4, hlm. 341).

Hukum haram dalam mazhab Maliki dan Hanafi sebenarnya tidak saklek. Karena itulah, ada sebagian ulama mazhab Maliki dan Hanafi menghukumi catur sebagai makruh. Jika catur tidak menimbulkan perbuatan dosa dan maksiat, tidak terjadi perjudian, tidak membuat seseorang lalai kewajiban, maka bermain catur adalah makruh (al-Mawsu’ah al-Fiqhiyah, jilid. 5, hlm. 269-271).

Seorang da’i dan penceramah penting belajar dan memahami illatul hukm, yaitu argumen dan logika di balik hukum, supaya tidak sembarang berfatwa. Lebih baik diam dari pada harus berfatwa dengan pengetahuan yang tidak holistik.

Tahun 2017, Ustad Abdul Somad menyatakan tidak setuju permainan catur masuk cabang olahraga. Padahal, bab olahraga dibahas terpisah dalam kitab fiqih dari bab tentang permainan. Illat berubah, hukum pun berubah. Di jaman kita sekarang, mazhab Syafi’i yang menghalalkan perlombaan catur lebih cocok.

Ingatlah, sebuah negara yang menyabet juara di tingkat internasional pasti akan bangga. Olahraga tidak lagi sebatas soal hiburan dan kebugaran fisik melainkan juga soal nasionalisme dan kebangsaan. Bacalah sejarah Presiden Soekarno yang menjadikan ajang Asian Games sebagai “Jihad” melawan kolonialisme, seperti Israel.

Di jaman sekarang, membela agama dan negara tidak cukup berteriak-teriak di jalanan dan mengibar-ngibarkan bendera. Tetapi harus lebih elegan, yakni dengan menempa skill dan meraih juara di setiap ajang perlombaan, termasuk sport otak permainan catur. Para atlet bangsa bukan saja pejuang nasional melainkan juga mujahidin fi sabilillah.*

*Penulis adalah alumni Universitas Al-Azhar, Mesir; Pengasuh Pondok Pesantren Bina Insan Mulia, Cirebon; Wakil Ketua Pimpinan Pusat Rabithah Ma’ahid Islamiyah (Asosiasi Pondok Pesantren se-Indonesia); Pengurus Besar Nahdlatul Ulama Periode 2010-2015.

Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email [email protected]

Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.

Rekomendasi untuk Anda
AA

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved