Tribunners / Citizen Journalism
Salah Kaprah Penggunaan Bahasa Indonesia pada Merk Dagang
Penggunaan Bahasa Indonesia pada merek dagang dapat menimbulkan kekacauan dalam pengaturan merek dagang di Indonesia
UU Merek tidak mewajibkan penggunaan merek dagang berupa kata atau gabungan kata dengan menggunakan Bahasa Indonesia. Pasal 2 UU Merek sebatas menyebutkan bahwa merek yang dilindungi terdiri atas tanda berupa gambar, logo, nama, kata, huruf, angka, susunan warna, dalam bentuk 2 (dua) dimensi dan/atau 3 (tiga) dimensi, suara, hologram, atau kombinasi dari 2 (dua) atau lebih unsur tersebut untuk membedakan barang dan/atau jasa yang diproduksi oleh orang atau badan hukum dalam kegiatan perdagangan barang dan/atau jasa.
Tidak ada pasal dalam UU Merek yang mewajibkan penggunaan Bahasa Indonesia untuk merek dagang.
UU Merek telah mengatur mengenai kategori merek yang tidak dapat didaftar dan ditolak.
Sepanjang merek yang didaftarkan telah memenuhi unsur merek sebagaimana yang dimaksud di Pasal 2 UU Merek dan tidak termasuk dalam kategori merek yang tidak dapat didaftar dan ditolak, makapermohonan pendaftaran merek dapat diterima.
Baca: Pakar Hukum Sarankan Jokowi Tunggu Hasil Uji Materi UU KPK di Mahkamah Konstitusi
Kewajiban penggunaan Bahasa Indonesia untuk merek dagang justru berpotensi mengakibatkan merek tidak dapat didaftarkan.
Pasal 20 butir b UU Merek menyatakan bahwa merek tidak dapat didaftar jika sama dengan, berkaitan dengan, atau hanya menyebut barang dan/atau jasa yang dimohonkan pendaftarannya.
Sebagai contoh, merek dagang pil biru untuk jenis barang obat , atau merek dagang kopi hitam untuk jenis barang kopi merupakan contoh merek yang tidak dapat didaftarkan.
Kewajiban Penggunaan Bahasa Indonesia untuk Merek Dagang akan Menghambat Kreativitas
Terbatasnya kosakata Bahasa Indonesia akan menghambat kreativitas dalam proses pencarian atau penemuan merek dagang. Seiring dengan semakin banyaknya permohonan pendaftaran merek, maka kosakata Bahasa Indonesia yang tersedia akan semakin sedikit.
Kata atau gabungan kata yang telah terdaftar sebagai merek dagang akan menjadi hak eksklusif pemilik merek.
Baca: Dijamu Nasi Dagang, Laudya Cynthia Bella Pamer Perlakuan Orang Tua Engku Emran kepadanya
Terlebih kosakata Bahasa Indonesia tersebut harus memenuhi kaidah Bahasa Indonesia yang baik.
Pengaturan Wajib Bahasa Indonesia bagi Merek Dagang Tidak Sesuai dengan Perkembangan Penggunaan Merek
Dalam perkembangannya, merek dagang yang didaftarkan seringkali hanya berupa nama orang, singkatan, akronim, atau tanpa memiliki makna harfiah sama sekali.
Sebagai contoh, merek-merek terkenal seperti Adidas, BMW, IKEA, H&M, BMW, dan KFC merupakansingkatan dari nama pemilik atau singkatan dari deskripsi produknya. Merek dagang terkenal asal Indonesia, seperti Wardah, Indomie, J.Co, Buccheri, GO-JEK pun bukanlah merek yang berasal dari kosakata Bahasa Indonesia yang sesuai dengan kaidah Bahasa Indonesia.
Aturan wajib Bahasa Indonesia bagi merek dagang yang dimiliki oleh warga negara Indonesia dan atau badan hukum Indonesia akan tidak sesuai dengan perkembangan penggunaan merek yang berfungsi sebagai pembeda antara barang dan atau jasa yang satu dengan yang lainnya.
Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email [email protected]
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.