Minggu, 5 Oktober 2025

Tribunners / Citizen Journalism

Demo Tolak RUU KUHP dan KPK

Jangan Remehkan Generasi Z

Meski banyak cap negatif disematkan kepada mereka, nyatanya generasi Z juga memiliki kepedulian terhadap negaranya.

Editor: Sanusi
Tribun Jabar/Gani Kurniawan
Ratusan mahasiswa dan pelajar menggelar unjuk rasa di depan Gedung Sate, Jalan Diponegoro, Kota Bandung, Jawa Barat, Jumat (27/9/2019). Dalam aksinya, mereka menuntut pemerintah dan DPR untuk membatalkan Revisi Undang-Undang KPK (UU KPK) dan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP), serta mendesak bertemu dengan Gubernur Jawa Barat, Ridwan Kamil. Tribun Jabar/Gani Kurniawan 

Di masa lalu, dosen di sejumlah kampus biasa dipanggil dengan sebutan Mas atau Mbak saja. Saat ini, di banyak kampus, mahasiswa antre mencium tangan dosen saat bertemu atau ketika selesai kuliah. “Literasi agama generasi Z Indonesia memang lebih tinggi dibanding generasi sebelumnya,” katanya.

Namun pada saat bersamaan, generasi Phi juga lebih terbuka dengan hal-hal berbau seksual. Lihatlah media sosial sebagian generasi Phi yang tak tabu membicarakan soal kesehatan reproduksi, sebagian tak malu memamerkan gaya pacarannya. Munculnya poster-poster saat unjuk rasa yang menuliskan kata-kata berbau seksual makin mengukuhkan hal itu.

“Internet membuat cara pandang generasi Phi tentang isu seksual maupun kesetaraan jender tidak lepas dari perspektif global,” tambah Faisal.

Internet membuat cara pandang generasi Phi tentang isu seksual maupun kesetaraan jender tidak lepas dari perspektif global.

Kondisi itulah yang dinilai Rahmat memunculkan paradoks. Di satu sisi, generasi Z sangat konservatif dengan penegakan nilai-nilai yang berorientasi pada kemapanan hidup, namun mereka juga egois. Mereka juga mengalami indoktrinasi nilai keagamaan yang konservatif, meski teknologi dan lingkungan sosial memberikan mereka kesempatan besar untuk lebih berfokus pada kepentingan diri.

“Tujuan demonstrasi bukan semata untuk kepentingan politik, namun juga momentum untuk meluapkan unek-unek mereka secara terhormat dan diapresiasi,” katanya.

Interpretasi

Menurut Faisal, generasi Phi memiliki interpretasi yang bebas tentang negara, bangsa, dan demokrasi. Mereka tidak pernah mengalami indoktrinasi seperti yang dialami generasi sebelumnya.

Di era Orde Lama, pembangunan nasionalisme dan karakter bangsa mendominasi hingga mewujud pada pelarangan musik “ngak-ngik-ngok”. Sementara di Orde Baru, budaya populer Barat lebih bebas masuk, namun tidak boleh membicarakan ideologi bangsa di kampus dan sekolah.

Selain itu, selama lebih satu dekade sejak reformasi berlangsung, terjadi kekosongan narasi kebangsaan bagi pemuda. Saat itu, negara tengah fokus menata sistem politiknya serta pemberantasan korupsi. “Isu pemuda nyaris tidak pernah dibicarakan,” katanya.

Tumbuh di masa transisi dari zaman otoritarian ke alam demokrasi yang lebih terbuka membuat generasi Phi harus berusaha ekstra mencari identitas, keyakinan dan ideologinya. Saat nilai konservatif yang ada di sekitar mereka, maka nilai itulah yang mereka ambil. Demikian pula dengan nilai kedaerahan yang muncul sejak era desentralisasi. Akibatnya, pandangan generasi Phi lebih berwarna-warni.

Meski generasi Phi lebih egois, mereka tetap membutuhkan afirmasi atau bertanya kepada generasi sebelumnya. Karena itu, tak mengherankan jika banyak anak muda itu meminta izin untuk ikut demonstrasi kepada orangtua atau dosen mereka, hal yang janggal bagi generasi sebelumnya.

Pandangan generasi pendahulu, lanjut Rahmat, akan mengukuhkan sikap mereka. Situasi itu yang membuat kehadiran ‘orangtua’, baik di keluarga, sekolah, kampus, masyarakat dan negara menjadi penting. Para ‘orangtua’ itu perlu mendukung anak muda itu untuk menyuarakan pandangannya sebagai bagian dari pendidikan politik maupun kebebasan berekspresi.

Karena itu, ancaman Menteri Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi untuk memberikan sanksi kepada rektor yang mengerahkan mahasiswanya ikut unjuk rasa sebagai hal yang kontraproduktif. Sanksi itu hanya akan melanggengkan stereotipe generasi Z yang apolitis, tidak peduli dengan sekitar, hedonis, dan berbagai pandangan negatif lain yang sering disematkan pada mereka.

Usai unjuk rasa, tambah Faisal, diskusi setara antara mahasiswa dan pelajar dengan generasi pendahulunya perlu dilakukan. Tanpa diskusi itu, konsep Indonesia yang pasti tetap akan sulit mereka dapatkan. Padahal, 10-20 tahun lagi, merekalah yang akan jadi pemegang tongkat estafet kepemimpinan bangsa.

Sumber: KOMPAS

Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email [email protected]

Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.

Rekomendasi untuk Anda
AA

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved