Sabtu, 4 Oktober 2025

Tribunners / Citizen Journalism

KH Imam Jazuli: Jangan Ada Khilafah Di Antara Kita

Sebagai ideologi, intelektual dan ulama internasional pun ada yang mengamini dan ada yang menentang.

Editor: Husein Sanusi
Istimewa
KH. Imam Jazuli, Lc. MA, Alumnus Univeraitas al Azhar Mesir, Pengasuh Pondok Pesantren Bina Insan Mulia, Wakil Ketua Rabithah ma'ahid Islamiyah- asosiasi pondok pesantren se Indonesia- Pengurus Besar Nahdlatul ulama (PBNU) periode 2010-2015. 

                                                             JANGAN ADA KHILAFAH DI ANTARA KITA

Oleh: KH. Imam Jazuli, Lc., M.A*

Status Hizbut Tahrir (HT) memang rumit diurai. Sebagai organisasi politik transnasional, banyak negara menolaknya, tapi juga banyak yang menerima. Sebagai ideologi, intelektual dan ulama internasional pun ada yang mengamini dan ada yang menentang. Kontroversi mereka dilatarbelakangi oleh ketakutan pada dampak jika Khilafah betul-betul bangkit.

Negara-negara Timur Tengah, Eropa dan Asia yang melarang rata-rata terancam oleh aksi teror HT, seperti Suriah, Arab Saudi, Turki, Mesir, Pakistan, Pakistan, Afganistan, Spanyol, Rusia, Jerman, Tajikistan, Uzbekistan, Kirgistan, Bangladesh, Tiongkok, Malaysia, dan Indonesia.

Sedangkan negara-negara yang yang menerima dan melegalkan HT dengan tangan terbuka mendapatkan untung darinya, atau setidaknya tidak merasa terganggu. Di antaranya, Lebanon, Yaman, Uni Emirat Arab, Inggris, Denmark, Australia, dan lainnya.  

Di kalangan ulama, penolakan terhadap HT lebih pada adanya kegaduhan sosial dan keterancaman negara olehnya HT. Misalnya, ulama-ulama Timur Tengah, seperti al-Azhar, melihat ideologi HT sebagai Islam radikal. Islam versi HT dipandang oleh mereka sebagai biang keladi dari semua bentuk adu domba, fitnah, dan pemecah belah persatuan umat muslim. Bagi ulama al-Azhar, misalnya, Islam yang rahmah lil alamin telah diselewengkan, sehingga menjadi Islam yang penuh teror (irhabiyah).

Dalam rangka melawan Islam intoleran tersebut, Grand Syeikh al-Azhar, Dr. Ahmad Thayyib (2015), mengatakan agar umat Islam memperkuat aspek pendidikan. Seluruh negara Islam di dunia harus memperkuat program pendidikan, guna menjauhkan generasi muda dari pemahaman Islam yang diselewengkan. Islam radikal dan ideologi takfiri yang melekat pada HT. Hal itu tidak saja sesat melainkan juga potensi memecah belah persatuan umat muslim sendiri.

Pandangan Dr. Ahmad Thayyib disampaikan pada Muktamar al-Islam wa Muharabah al-Irhabiyah di Makkah al-Mukarramah. Dia mengajak semua umat muslim menolak ideologi khilafah yang menganggap semua negara di muka bumi ini sebagai darul kufr (negara kafir) dan darul harbi (negara layak perang). Ideologi radikal semacam ini bukan saja musuh Islam, tetapi musuh bersama umat manusia.

Penyelewenangan makna Islam oleh HT dimulai oleh Taqiyuddin an-Nabhani. Syeikh Musthafa Zahran (2019), pakar kajian Islam klasik dan modern dari Universitas al-Azhar, berpendapat bahwa HT tidak punya konsep utuh, hanya mengambil semboyan sana-sini yang terdapat di dalam khazanah-khazanah kitab klasik Islam, kemudian ia mencocok-cocokkannya sesuai dengan selera dan kepentingan kelompok mereka sendiri.

Tuduhan HT sebagai organisasi teroris memang beralasan. Pada tahun 2001, majalah Al-Wa’i yang dikelola HT terang-terangan menyerukan semangat perang. Dalam artikel berjudul How to Become a Shakhid tertulis, “singkirkan kepala suku yang tidak peduli pada syariat Allah, kirim pejuang untuk berjihad, usir orang-orang Yahudi! Mungkin diperlukan pengorbanan, penderitaan, perang di jalan jihad, dan mati sebagai syahid.”

Penerjemahan Islam menjadi gerakan teror inilah alasan para ulama al-Azhar menolak. Misalnya, Komisi Fatwa al-Azhar (Lajnah Fatwa al-Azhar) memberikan garis demarkasi yang jelas antara HT sebagai ideologi Islam dan sebagai ideologi gerakan. Sebagai ideologi Islam, komisi ini menyebutkan bahwa semua kitab-kitab yang ditulis Taqiyuddin an-Nabhani tidak bertentangan dengan syariat Islam. Bahkan sebaliknya, karya-karyanya dibangun di atas pemikiran keislaman yang benar. Namun, penerjemahan ideologi Islam menjadi gerakan ideologis mencemarkan citra dan ajaran Islam sebagai rahmatan lil alamin.

Pandangan serupa datang dari keputusan Sidang Komisi Bahtsul Masail Diniyyah Waqiiyah, dalam Musyawarah Nasional Alim Ulama (Munas) dan Konferensi Besar (Konbes) Nahdlatul Ulama 2019. Komisi yang dipimpin KH Asnawi dari LBM PBNU dan KH Azka dari Yogyakarta berkesimpulan, amaliyah HT di Indonesia memang tidak bertentangan dengan syariat Islam, tetapi keberadaannya sebagai gerakan sangat membahayakan negara.

Hampir seluruh negara yang melarang HT memiliki alasan sama, yakni keamanan negara yang terancam, baik oleh ideologi maupun aktivisme radikalnya. Namun begitu, beberapa negara di Timur Tengah dan Eropa “mampu” menerima kehadiran HT. Kata “mampu” di sini disebabkan karena mereka merasa tidak terganggu oleh ‘suara sumbang’ ideologi Khilafah, selama tidak menjelma aksi teror.

HT selalu fleksibel dalam bergerak. HT Pusat menyerukan perlawanan terhadap segala yang berbau Barat. Negara-negara imperialis seperti Ingris, Amerika, Rusia dan Prancis adalah musuh abadi. Kelak saat negara khilafah bangkit, status sebagai imperialis ini adalah penghalang utama terbukanya pintu diplomasi dengan mereka (Hizb ut-Tahrir, Muqadimmat ul-Dustur aw Asbab ul-Muwajjabah lahu, Lebanon: Dar Ummah, 1963, h. 450).

Namun, HT berprinsip bahwa cabang-cabang mereka boleh menerjemahkan strategi masing-masing, sesuai konteks sosio-politik-kultural yang ada. Prinsip ini memungkinkan anggota HT di mana pun berada untuk bergerak sesuai kondisi dan situasi. Satu tempat akan berbeda dari  tempat lain. Satu waktu akan berbeda dengan waktu lain (an-Nabhani, The Islamic Personality, 1995, vol. 2, p. 225).

Halaman
12

Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email [email protected]

Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.

Rekomendasi untuk Anda
AA

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved