Minggu, 5 Oktober 2025

Tribunners / Citizen Journalism

Stasiun MRT Lebak Bulus, Akhir Sebuah Perlawanan?

Bagi mereka yang jeli mengawal informasi, peristiwa pertemuan Prabowo-Jokowi di MRT Lebak Bulus hari ini tak mengagetkan

Tribunnews/JEPRIMA
Presiden Joko Widodo saat bertemu calon presiden Prabowo Subianto usai sama-sama mencoba kereta MRT di Stasiun MRT Senayan, Jakarta Pusat, Sabtu (13/7/2019). Dalam kesempatan tersebut Prabowo Subianto mengucapkan selamat kepada Joko Widodo yang ditetapkan sebagai calon presiden terpilih pada pemilihan presiden 2019. Tribunnews/Jeprima 

Apakah pertemuan Prabowo-Jokowi di MRT Lebak Bulus itu menandai adanya rekonsiliasi politik? Apa pengertian rekonsiliasi politik? Bagi-bagi kursi! Pertanyaannya mesti dibalik: setelah semua rentetan cerita itu terjadi, mungkinkah Prabowo bisa menghindari istana?

Sebagai tambahan fakta, pertama tentang pidato, tepatnya obrolan Prabowo di depan emak-emak di Kertanegara jumat kemarin (12/7/2019). Apakah Prabowo menyebut kata "oposisi" sebagaimana tuntutan emak-emak itu? Tidak! Retorikanya sedemikian rapi dan terukur. Ini dibuat agar kedua pihak yaitu istana dan emak-emak merasa nyaman dan tak tersinggung. Kedua, lihat mimik, gestur, sikap dan isi pidato Prabowo saat bertemu Jokowi di MRT. Dua fakta ini bisa jadi basis pertanyaan: masih mungkinkah Prabowo tidak gabung ke istana?

Pertanyaan yang lebih fundamental adalah: kenapa Prabowo mengambil sikap seperti itu? Harus disadari bahwa posisi Prabowo itu sentral. Selama Prabowo jadi rival penguasa, maka perlawanan rakyat akan berlanjut. Ini ancaman bagi stabilitas politik, dan bahkan ekonomi. Dan jika ada momentum tertentu, ini bisa jadi ledakan sosial.

Dan nampaknya, istana tak cukup percaya diri untuk mampu membangun komunikasi politik yang efektif dengan rakyat, terutama para pendukung Prabowo. Padahal, jika negara ini baik-baik saja, pemerintah menunjukkan prestasinya yang baik dan hukum berlaku adil, maka perlawanan macam apapun akan dapat diurai. Istana seperti kurang percaya diri sehingga harus berkorban sesuatu untuk mengupayakan adanya rekonsiliasi.

Prabowo itu simbol dan icon perlawanan rakyat selama ia jadi oposisi. Maka, istana berkepentingan untuk menghentikannya. Caranya? Tanya Prabowo. Dia yang tahu dan sudah merasakannya.

Prabowo sempat dianggap berada dalam dilema. Maju kena, mundur kena. Maju sebagai oposisi, akan berhadapan dengan penguasa. Bagaimana nasib partainya? Bagaimana nasib para tersangka? Dalam konteks ini, mungkin Prabowo tak memikirkan nasib dirinya. Sampai disini, ada kesan Prabowo bermoral. Tapi, apakah itu pilihan yang tepat?

Di mata pendukung, itu tak saja keliru, tapi tersesat. Prabowo dianggap pecundang. Menyerah sebelum pertandingan selesai. Tak sedikit yang menuduhnya penghianat.

Pendukung bertanya: kalau tak sanggup melihat korban, kenapa ikut perang? Kenapa tidak pensiun dini, itu akan lebih aman dan nyaman. Kalau jenderal tak bisa lihat darah, kenapa tak jadi hansip atau satpam? Itulah narasi yang berkembang di medsos dari pagi hingga sore hari ini.

Jokowi dan Prabowo berbincang di MRT, Sabtu (13/7/2019).
Jokowi dan Prabowo berbincang di MRT, Sabtu (13/7/2019). (DOK. Sekretariat Kabinet)

Baca: Pramono Anung Yakin Prabowo Datang di Pelantikan Jokowi

Akhirnya para pendukung hanya bisa berucap dalam ratapan mendalam "ternyata Prabowo memang tak siap untuk bertarung di gelanggang'. Kenapa tidak ngomong dari awal? Keluh para pendukung.

Pertemuan di MRT sepertinya akan menjadi akhir dari semua bentuk perlawanan. Kecuali jika di kemudian hari Prabowo membuat peryataan sebagai oposisi. Ini baru benar-benar kejutan. Ah, bercanda!

Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email [email protected]

Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.

Rekomendasi untuk Anda
AA

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved