Selasa, 30 September 2025

Tribunners / Citizen Journalism

TRIBUNNERS

Apakah Anda Masih Suka Bernostalgia dengan Pertanyaan “Piye Kabare Enak Jamanku To?”

Jadi, pertanyaan, “Piye kabare. Enakan jamanku to?” tidak perlu dijawab. Namanya saja retorika.

/Warta Kota/adhy kelana
RINDU ZAMAN SOEHARTO - Stiker bergambar foto mendiang mantan Presiden Soeharto dengan melambaikan tangan dan bertuliskan "Piye Kabare Bro? Penak Jamanku toh", terpampang di kaca belakan angkot jurusan Depok-Pal, Rabu (3/7) yang tengah melintas di Jalan Margonda, Depok, Jawa Barat. Tingginya harga kebutuhan pokok dan naiknya BBM membuat masyarakat merindukan rezim Soeharto. (Warta Kota/adhy kelana/kla) 

“Mau apa-apa di era Soeharto gampang, mudah, dan gak perlu repot-repot. Mau makan tinggal klikkan jari jempol dengan jari tengah maka makanan segera tersedia, dengan berbagai macam menu yang menggugah selera. Lobster atau ikan salmon? Biasa banget, bro. Atau kalau mau berbisnis, tinggal tentukan saja mau bisnis apa, semuanya bisa, urusannya lancar.

“Ekonomi lancar jaya. Dukungan pemerintah tak pernah setengah-setengah. Semua serba dimudahkan. Hasilnya kocek jadi tebal. Simpanan duit di Bank melimpah. Tabungan gak habis tujuh turunan. Hidup benar-benar sejahtera. Masih mau menyangkal bahwa era Soeharto tidak “penak”? Sontoloyo bener kalian.”

Kaget? Saya tidak! Sudah saya duga bahwa Yulianus pasti memberikan twisted dalam tulisannya. Ternyata benar. Kalimat pertama alinea ketiga dia tulis: “Jelas, terang benderang, otentik, fakta, bahwa era Soeharto adalah era paling enak untuk anak-anak Soeharto dan kroninya.”

Bagaimana dengan rakyat kebanyakan? Ini: “Dan sebaliknya untuk rakyat biasa era Soeharto menjadi era ketakutan, era intimidasi pemerintah. Baik perorangan maupun media. Bagaimana tidak, siapa yang berani mengkritik kebijakan Soeharto kala itu? siapa? Kamu berani kritik Soeharto berarti kamu sudah siapkan surat wasiat untuk keluargamu. Dan minta keluargamu untuk tidak mencari keberadaanmu kalau seminggu kamu gak pulang ke rumah. Berarti kamu minggat. Eh, mangkat, alias mampus di pinggir jalan.” (https://seword.com).

Data dan fakta

Setiap kali membimbing skripsi atau thesis mahasiswa saya, hal utama yang saya perhatikan adalah data penelitian.

Apakah dia memakai data yang valid dan update? Jika tidak, pasti saya suruh ganti. Mirisnya, saat ini kita sering disodori dengan data yang tidak saja fiktir—misalnya diambil dari sebuah novel—namun juga out of date.

Hoax yang disebarkan oleh akun abal-abal dan yang sengaja diternak untuk memancing clickbait  yang akhirnya mendulang uang terus-menerus ruang publik maupun privat kita.

Untungnya, masa banyak netizen yang waras sehingga men-counter-nya dengan meng-upload data serius sampai meme dan coretan ‘cerdas’.

Salah satu dari unggahan itu saya dapatkan dari seorang sahabat yang sebenarnya tidak terlalu bersinggungan dengan dunia politik. Namun, di hare gene, siapa yang buta politik?

Usahawan muda yang fokus main saham ini mengunggah coretan di atas memo yang  membandingkan UMR dan harga pada zaman Soeharto dengan sekarang.

Misalnya, UMR Jakarta pada 1992 Rp 100.000 sedangkan pada 2018 Rp 3.500.000. Harga beras dulu Rp 675, sedangkan sekarang Rp 10.000. Jadi, pada zaman Soeharto buruh dengan gaji UMR dapat 148 kg, sedangkan saat ini dapat 350 kg. Banyak mana?

Harga BBM dulu Rp 550 per liter (subsidi), sekarang Rp 8.000 (non subsidi). Jika dulu gaji UMR hanya dapat 182 liter, sekarang 437 liter.

Unggahan itu diberi coretan di bawahnya: “Enak jamanku to?”

Janji dan bukti

Halaman
123

Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email [email protected]

Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.

Rekomendasi untuk Anda
AA

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
About Us Help Privacy Policy Terms of Use Contact Us Pedoman Media Siber Redaksi Info iklan