Sabtu, 4 Oktober 2025

Tribunners / Citizen Journalism

Urgensi Perlunya Ada Partai Oposisi Pemerintah

Melalui regulasi dan fusi partai, Soeharto menciptakan hegemoni kekuasaan (power hegemony) dari pemimpin otoriter-totaliter menuju diktator-antagonis.

Editor: Choirul Arifin
Tribun Pekanbaru/Theo Rizky
Sejumlah mahasiswa dari Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universitas Riau (UR) menahan truk tanki BBM bersubsidi di ruas Jalan HR Subrantas, depan Kampus UR, Pekanbaru, Jumat (5/9/2014). 

TRIBUNNEWS.COM - Dalam sistem politik dan ketatanegaraan kita memang tidak dikenal istilah partai oposisi. Tetapi secara substansi dan fungsional, peran oposisi banyak dipraktikkan oleh partai politik diluar pemerintahan sejak zaman Soekarno hingga era Jokowi saat ini.

Oposisi merupakan bagian dari artikulasi politik yang berfungsi sebagai kontrol dalam pengambilan kebijakan politik pemerintah, apakah kebijakan tersebut untuk kepentingan rakyat atau sebaliknya untuk penguasa semata dan kroninya.

Selama periode demokrasi terpimpin (1959-1965) Soekarno, Partai Masyumi dan Partai Sosialis Indoensia (PSI) merupakan partai oposisi yang bersuara lantang karena menganggap Soekarno telah bertindak sewenang-wenang mengangkat anggota parlemen sendiri sebagai kepala Negara yang tidak sesuai dengan jiwa UUD 1945.

Masyumi dan PSI akhirnya dibubarkan oleh Soekarno dan para tokohnya ditangkap dan dipenjarakan seperti Mohammad Natsir, Syafruddin Prawiranegara, Prawoto Mangkusasmita, Muhammad Roem, Kasman Singodimedjo, Sutan Syahrir, Anak Agung Gde Agung dan lain-lain.

Mereka juga dituduh terlibat dalam pemberontakan PRRI/Permesta, tapi yang terpenting mereka menentang Soekarno karena mengarah ke otoritarian sebagai pemimpin besar revolusi dan pemaksaan konsep Nasakom (Nasionalis, Agama dan Komunis).

Sikap Soekarno ini pula yang menyebabkan dwitunggal Soekarno-Hatta pecah yang menyebabkan Hatta mundur sebagai Wakil Presiden.

Di bawah rezim otoriter Soeharto, partai oposisi menghilang walau kerap disuarakan oknum-oknum politisi pemberani di parlemen seperti Sri Bintang Pamungkas dari PPP yang berani menolak laporan pertanggungjawaban Soeharto 1993 dan di-recall dari keanggotaan DPR.

Melalui regulasi dan fusi partai, Soeharto menciptakan hegemoni kekuasaan (power hegemony) dari pemimpin otoriter-totaliter menuju diktator-antagonis.

Soeharto menggunakan militer sebagai pilar utama kekuasaan sentralistik dengan dua strategi yaitu, pertama, Menciptakan politik yang bebas dari konflik idiologis dan berdasarkan konsensus.

Hal ini mendorong pemerintah membatasi politik kepartaian, membatasi gerak partai politik dan badan-badan perwakilan serta menerapkan politik konsensus bahkan melalui intimidasi dan kooptasi menentukan pimpinan partai politik.

Kedua, Membatasi partisipasi majemuk masyarakat atau partisipasi populis harus terutama diarahkan pada pelaksanaan pembangunan (developmentalism) yang dianut oleh elit politik melalui tafsir tunggal Pancasila dan UUD 1945.

PDIP Saat Jadi Partai Oposisi

Di akhir kekuasaan Soeharto, PDIP hadir sebagai partai oposisi satu-satunya yang berjuang teguh demi kepentingan rakyat wong cilik. Partai ini menjadi pemenang pemilu pertama di era reformasi 1999 dengan meraih kursi 153 dari 462 kursi yang diperebutkan atau 33.12 % dari 48 partai peserta pemilu.

Peran yang sama dimainkan PDIP ketika Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY) terpilih sebagai Presiden pada pemilu 2004 dan 2009 dan Partai Demokrat sebagai partai penguasa.

Peran strategis sebagai partai politik oposisi pemerintah, PDIP kembali menuai manis dengan memenangkan pemilu 2014 dan mendudukkan kadernya, Jokowi sebagai Presiden ke-7 Indonesia.

Halaman
123

Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email [email protected]

Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.

Rekomendasi untuk Anda
AA

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved