Tribunners / Citizen Journalism
Bom di Surabaya
Presiden eks Militer, Teroris dan Neo Suhartoisme
tepat sehari setelah Jokowi memuji Cak Karwo sebagai pemimpin yang mampu menjaga kerukunan masyarakat di Jawa Timur.
Hadirnya teorisme semakin membuat situasi tidak terkendali, kemana arah bangsa kita? Apalagi selama reformasi, pemimpinya lebih banyak pencitraan, termasuk SBY yang seolah olah tidak punya latar belakang militer, terlalu lamban dan lembek.
Dari semua ini, kita tahu bahwa reformasi yang sudah berumur 20 tahun harus ditinjau kembali? Kemanakah kita? Apa paradigma kita ke depan?
Saat ini kita dipimpin Jokowi yang menjual gagasan Soekarnoisme, Trisakti dan Gotong royong. Hal yang sama si awal reformasi, di bawah kepemimpinan Megawati Soekarnoputri. Tampaknya, Soekarnoisme sudah gagal total. Lalu kemana kita berpaling?
Pilihan kita hanya tersedia model Suharto. Hidup dengan sandaran utama adalah Stabilitas. Apakah kita berani? Tentu banyak dari kita, khususnya aktifis yang korban orde baru, memerlukan jalan baru. Untuk itulah maka kita aebut sebagai Neo Suhartoisme. Apakah itu Neo Suhartoisme?
Neo Suhartoisme adalah Stabilitas nasional, pertumbuhan dan Pemerataan yang direvisi. Sebuah Suhartoisme yang direvisi. Bagaimanakah itu?
Suhartoisme yang direvisi adalah Soehartoisme lama plus unsur baru, yakni pertama, memasukkan unsur demokrasi, seperti pemilihan langsung dan periodesasi presiden. Kedua, membatasi kekayaan orang kaya dan mempercepat pemerataan. Ketiga, kembali memperkecil hubungan dengan RRC.
Seberapa jauh "trade-off" antara demokrasi dan stabilitas? Dalam Neo-Suhartoisme demokrasi dapat dikurangi dan stabilitas harus diutamakan. Karena stabilitas adalah kunci persatuan nasional dan pembangunan.
Jika stabilitas nasional menjadi kunci penting pembangunan nasional, maka kendali negara atas keamanan nasional akan maksimal. Dalam situasi ini, seperti di masa pak Harto, tentu tidak ada terorisme. Setidaknya, kita berharap demikian.
Soal Eks Militer
Menjadikan stabilitas nasional sebagai sebuah strategi negara tentu membutuhkan sosok tegas. Hal ini tidak harus mendikotomikan sipil vs militer. Namun, alergi terhadap militer atau eks militer seharusnya juga diakhiri.
Banyak aktifis aktifis yang mengklaim menjatuhkan Suharto dulu terus menerus mempropagandakan tolak capres eks militer. Relevansinya apa? Padahal kita tahu bahwa sudah dua puluh tahun militer kembali ke barak. Bahkan, urusan terorisme yang seharusnya urusan kombatan, militer tidak dilibatkan.
Jika terorisme seperti yang kita alami saat ini, dan ketakutan kita sebagai warga karena pihal keamanan sudah menyatakan keadaan darurat sipil di Jakarta, semakin menjadi, maka sudah saatnya kita sebagai warga justru mencari sosok kepemimpinan nasional yang berlatar belakang militer. Karena merekalah yang paling faham melakukan kontra terhadap teroris.
Sebagaimana kita alami dulu, di masa pak Harto, meskipun terorisme ada di Barat seperti IRA (Irish Republic Army) dan Red Army di Jerman, serta di Arab seperti the Jackal" di Libya, namun tidak satupun teroris di Indonesia.
Masalah stabilitas dan latarbelakang eks militer yang tegas mempunya kaitan erat. Pemimpin sipil, termasuk polisi, tidak mengerti dalam soal terorisme ini. Apalagi dikaitkan dengan konsporasi dan geopolitik.
Dengan demikian, kebutuhan bangsa kita atas pimpinan tegas dan eks militer terasa semakin urgen. Beranikah kita neninggalkan kebebasan semu saat ini? sebuah kebebasan dan demokrasi tanpa arah?
Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email [email protected]
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.