Senin, 6 Oktober 2025

Tribunners / Citizen Journalism

Membaca Psikologi Prabowo

Tapi faktanya, hingga hari ini Prabowo masih malu-malu kucing. Ia masih berlindung di “ketiak” rakyat.

Editor: Hasanudin Aco
Foto Dany Permana - Tribunnews.com
Prabowo Subianto (Foto Dany Permana - Tribunnews.com) 

Sebab, poros baru akan membelah suara dari para pemilih yang tidak ingin memilih Jokowi, sehingga yang akan dirugikan Prabowo. Katakanlah ada calon dari militer, Prabowo terganggu. Atau calon berlatar Islam, Prabowo terganggu juga (Kompas.com, 7 Maret 2018).

Alhasil, Prabowo masih dibayang-bayangi kegamangan untuk maju sebagai capres, karena bisa jadi nasibnya akan seperti “pendekar yang berjalan seorang diri” bila ternyata PKS memilih bergabung dengan poros ketiga.

Demokrat tak mungkin berkoalisi dengan Gerindra, dan ini terkait sejarah panjang rivalitas Prabowo dan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), Ketua Umum Demokrat, semasa aktif di militer.

Lihat saja, pada Pilpres 2014, meskipun Hatta Rajasa, besan SBY, menjadi cawapres Prabowo, namun posisi Demokrat tetap mengambang. Di DPR periode 2014-2019 pun Demokrat mengambil posisi penyeimbang, tidak bergabung dengan Gerindra dan PKS di kubu oposisi.

Apalagi, jagoan Demokrat, Agus Harimurti Yudhoyono (AHY), berlatar militer seperti Prabowo, sehingga bila keduanya berpasangan tak akan menambah captive market. Begitu pun bila Prabowo berpasangan dengan mantan Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo yang didukung kalangan muslim.

Lalu, mengapa setiap hari Fadli Zon berkoar Prabowo capres harga mati? Pertama, untuk menjaga mental “prajurit” di grass roots (akar rumput). Bila digaungkan Prabowo mau menjadi cawapres, bahkan tidak maju, dikhawatirkan mental mereka akan runtuh, karena mental komandan sudah runtuh duluan.

Kita ingat ketika kubu Pandawa menjatuhkan mental kubu Kurawa dalam Baratayuda. Drona, sang senapati atau panglima perang kubu Kurawa, mentalnya langsung jatuh begitu mendengar anaknya, Aswatama, tewas.

Padahal, isu itu sengaja diembuskan Krishna, dan memang “Aswatama” benar-benar mati, tapi bukan Aswatama anak Drona, melainkan seekor gajah yang diberi nama “Aswatama” dan sengaja dibunuh pihak Pandawa.

Kedua, mungkin Fadli Zon percaya dengan teori komunikasi bahwa ketidakbenaran yang disampaikan berulang-ulang akan dianggap sebagai kebenaran. Itulah!

* Karyudi Sutajah Putra, analis politik pada Konsultan & Survei Indonesia (KSI), Jakarta.

Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email [email protected]

Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.

Rekomendasi untuk Anda
AA

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved