Sabtu, 4 Oktober 2025

Tribunners / Citizen Journalism

Logika Birokrasi VS Politik

Awal tahun 2016 publik dikejutkan dengan upaya seorang Yuddy Chrisnan selaku Menteri Pedayagunaan Aparatur dan Reformasi Birokrasi (Pan-RB) yang menge

www.sorotgunungkidul.com

Ketika suhu politik memanas akibat penilaian tertentu harus diingat bahwa yang dinilai adalah birokrasi bukan para menterinya, publik harus cerdas membaca apa manfaat penilaian kinerja tersebut tentu untuk meningkatkan pelayanan publik kepada mereka dengan koreksi kesalahan-kesalahan birokrasi.

Para Menteri dilarang keras untuk berbuat diluar kewenangannya dan harus diketahui oleh publik melalui sistem akuntabilitas yang sudah ada.

Memang di dunia nyata, birokrasi dan politik seringkali bercampur dan sulit untuk dipisahkan akan tetapi harus dipahami bahwa seharusnya keduanya mampu dipisahkan dengan sistem meritokrasi yang berbeda.

Tentu usaha sistem merit dalam birokrasi tengah diusahakan dengan iklim yang baik meskipun masih banyak loopholes, akan tetapi rekrutmen politik juga tak kalah bermasalah terlebih transparan dan akuntabilitas orang-orang politik tidak dapat dilacak karena menyentuh ranah privat. Dalam kondisi ini penilaian kinerja birokrasi tentu lebih dapat dipercaya daripada koar-koar politik yang seringkali menjauh dari domain publik sendiri.

Peristiwa etika politik akhir desember lalu membuktikan tesis tersebut.

Indra Jaya Pilliang selaku staf ahli Menteri Pan-RB seperti yang dikultwitkan secara jelas sudah menjelaskan persoalan SAKIP yang berbeda dengan penilaian yang dilakukan oleh BPK-RI yang mengejar WTP, SAKIP  merupakan pendalaman dari temuan BPK-RI sehingga lebih komprehensif dalam menjelaskan kinerja birokrasi publik.

Logika birokrasi dan politik tentu berjalan dengan arah yang berbeda yang sebenanrya dan seharusnya dapat dijadikan satu visi untuk membangun republik, akan tetapi logika politik masih belum dapat menjangkau arah yang diharapkan publik.

Sebagain institusi leading sektor dalam reformasi birokrasi seharusnya upaya Kemenpan-RB mendapatkan perhatian lebih, bagaimana akan mereformasi birokrasi jika sama sekali tidak tahu apa yang dikerjakan oleh mereka.

Menurut Prof Miftah Thoha (2014) yang menyatakan setidaknya ada empat makna yang dikandung dengan akuntabilitas, yakni, mengandung arti etika, adanya aktif kontrol masyarakat, adanya respons aktif dari pelaku, badan dan lembaga, pimpinan, maupun non-pimpinan, dan transparansi dari lembaga, badan, pimpinan, pelaku dan non-pimpinan.

Keempat elemen tersebut harus menjadi elemen dukungan dalam pelaksanaan SAKIP yang mendorong birokrasi untuk bekerja lebih baik.

Hasil penilaian seakan menjadi pertempuran antara logika rasional birokrasi dengan politik yang terkadang irrasional dan sulit ditebak.

Akan tetapi hasil penilaian kinerja sudah ada dan dengan cara yang sangat mudah dapat dibaca lalu dipahami.

Segala kritik tentu diperbolehkan karena memang apapun riset ilmiah yang dilakukan pasti memiliki keterbatasan, tentu hal tersebut juga harus dijelaskan oleh Kemenpan-RB.

Kritik penilaian kinerja biasanya berkisar pada beberapa hal yang sudah diteliti pada konteks birokrasi Belanda oleh De Bruijn (2002) misalnya penilaian kinerja terlalu kaku dan kurang adaptif, alat ukur kurang menggambarkan realita, terlalu birokratis, dan standar terlalu tinggi.

Selain itu menurut Van Thiel dan Leeuw (2002) juga seringkali terjadi bias oleh para penilai yang menyebabkan hasil penilaian tidak objektif.

Setidaknya hal-hal tersebut harus menjadi perhatian oleh Kemenpan-RB untuk perbaikan, bukan perkara boleh atau tidak boleh mengumumkan sebuah penilaian kinerja kepada publik karena justru wajib diketahui oleh publik. 

Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email [email protected]

Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.

Rekomendasi untuk Anda
AA

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved