Tribunners / Citizen Journalism
Logika Birokrasi VS Politik
Awal tahun 2016 publik dikejutkan dengan upaya seorang Yuddy Chrisnan selaku Menteri Pedayagunaan Aparatur dan Reformasi Birokrasi (Pan-RB) yang menge
Ditulis oleh : M Rizki Pratama, Mahasiswa Magister Administrasi Publik Universitas Gadjah Mada Dan Awardee BPI-LPDP
TRIBUNNERS - Awal tahun 2016 publik dikejutkan dengan upaya seorang Yuddy Chrisnan selaku Menteri Pedayagunaan Aparatur dan Reformasi Birokrasi (Pan-RB) yang mengeluarkan hasil penilaian kinerja melalui skema sistem akuntabilitas kinerja instansi pemerintahan (SAKIP) dari seluruh Kementerian, pemerintah daerah dan lembaga negara lainnya.
Hasilnya dianggap kontroversial karena dinilai tidak independen. Bahkan secara politik mendapatkan kecaman karena dianggap mendahului kewenangan Presiden.
Akibatnya suhu politik sempat meningkat di tengah isu reshufle, ada tuduhan dilontarkan bahwa hasil penelian digunakan untuk mengamankan jabatan menteri tertentu.
Berbagai ulasan menempatkan posisi Menteri dan Kemenpan-RB dalam posisi tersudut.
Lalu apakah benar sebuah kementerian dilarang untuk dinilai kinerjanya sehingga banyak pihak secara politik mencoba menghindarinya karena menimbulkan kegaduhan politik.
Ada dua hal yang sebenarnya harus dijelaskan disini tetapi bukan soal politik republik yang sedang tak sehat, pertama, penilaian kinerja kementerian atau lembaga dan pemerintah daerah harus dilakukan, kedua, publik harus tahu bagaimana kinerja kementerian atau lembaga dan pemerintah daerah.
Disini sebenarnya tidak memerlukan perdebatan yang kurang relevan, jelas jika politik yang kurang dewasa kita dihadapkan pada posisi terjepit pasti statement kurang cerdas akan muncul dan hasilnya pun mengecewakan seakan publik tidak perlu tahu bagaimana pekerjaan para menteri dalam kabinet.
Publik juga harus paham bahwa perlu dibedakan dengan tegas kepemimpinan para pembantu presiden yang bermuatan politis dengan kinerja birokrasi yang mereka pimpin.
Secara terang sudah dijelaskan bahwa yang diukur tidak hanya kementerian saja akan tetapi juga jajaran birokrasi lainnya.
Teringat sedikit gambaran sektor publik oleh Dr Erwan Agus Purwanto bahwa lembaga yang reaktif menyikapi problem merupakan lembaga yang memiliki kapasitas dan komitmen yang rendah.
Tentu hal tersebut harus jauh dihindari.
Politik berbicara golongan mereka yang tidak berhak mewakili birokrasi sebagai instrumen negara yang apolitis seperti yang selalu diajarkan oleh Prof Miftah Thoha.
Para menteri dalam implementasi kebijakan publik tentu membawa nama birokrasi bukan partai.
Itu sudah benar-benar jelas!
Ketika suhu politik memanas akibat penilaian tertentu harus diingat bahwa yang dinilai adalah birokrasi bukan para menterinya, publik harus cerdas membaca apa manfaat penilaian kinerja tersebut tentu untuk meningkatkan pelayanan publik kepada mereka dengan koreksi kesalahan-kesalahan birokrasi.
Para Menteri dilarang keras untuk berbuat diluar kewenangannya dan harus diketahui oleh publik melalui sistem akuntabilitas yang sudah ada.
Memang di dunia nyata, birokrasi dan politik seringkali bercampur dan sulit untuk dipisahkan akan tetapi harus dipahami bahwa seharusnya keduanya mampu dipisahkan dengan sistem meritokrasi yang berbeda.
Tentu usaha sistem merit dalam birokrasi tengah diusahakan dengan iklim yang baik meskipun masih banyak loopholes, akan tetapi rekrutmen politik juga tak kalah bermasalah terlebih transparan dan akuntabilitas orang-orang politik tidak dapat dilacak karena menyentuh ranah privat. Dalam kondisi ini penilaian kinerja birokrasi tentu lebih dapat dipercaya daripada koar-koar politik yang seringkali menjauh dari domain publik sendiri.
Peristiwa etika politik akhir desember lalu membuktikan tesis tersebut.
Indra Jaya Pilliang selaku staf ahli Menteri Pan-RB seperti yang dikultwitkan secara jelas sudah menjelaskan persoalan SAKIP yang berbeda dengan penilaian yang dilakukan oleh BPK-RI yang mengejar WTP, SAKIP merupakan pendalaman dari temuan BPK-RI sehingga lebih komprehensif dalam menjelaskan kinerja birokrasi publik.
Logika birokrasi dan politik tentu berjalan dengan arah yang berbeda yang sebenanrya dan seharusnya dapat dijadikan satu visi untuk membangun republik, akan tetapi logika politik masih belum dapat menjangkau arah yang diharapkan publik.
Sebagain institusi leading sektor dalam reformasi birokrasi seharusnya upaya Kemenpan-RB mendapatkan perhatian lebih, bagaimana akan mereformasi birokrasi jika sama sekali tidak tahu apa yang dikerjakan oleh mereka.
Menurut Prof Miftah Thoha (2014) yang menyatakan setidaknya ada empat makna yang dikandung dengan akuntabilitas, yakni, mengandung arti etika, adanya aktif kontrol masyarakat, adanya respons aktif dari pelaku, badan dan lembaga, pimpinan, maupun non-pimpinan, dan transparansi dari lembaga, badan, pimpinan, pelaku dan non-pimpinan.
Keempat elemen tersebut harus menjadi elemen dukungan dalam pelaksanaan SAKIP yang mendorong birokrasi untuk bekerja lebih baik.
Hasil penilaian seakan menjadi pertempuran antara logika rasional birokrasi dengan politik yang terkadang irrasional dan sulit ditebak.
Akan tetapi hasil penilaian kinerja sudah ada dan dengan cara yang sangat mudah dapat dibaca lalu dipahami.
Segala kritik tentu diperbolehkan karena memang apapun riset ilmiah yang dilakukan pasti memiliki keterbatasan, tentu hal tersebut juga harus dijelaskan oleh Kemenpan-RB.
Kritik penilaian kinerja biasanya berkisar pada beberapa hal yang sudah diteliti pada konteks birokrasi Belanda oleh De Bruijn (2002) misalnya penilaian kinerja terlalu kaku dan kurang adaptif, alat ukur kurang menggambarkan realita, terlalu birokratis, dan standar terlalu tinggi.
Selain itu menurut Van Thiel dan Leeuw (2002) juga seringkali terjadi bias oleh para penilai yang menyebabkan hasil penilaian tidak objektif.
Setidaknya hal-hal tersebut harus menjadi perhatian oleh Kemenpan-RB untuk perbaikan, bukan perkara boleh atau tidak boleh mengumumkan sebuah penilaian kinerja kepada publik karena justru wajib diketahui oleh publik.
Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email [email protected]
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.