Tribunners / Citizen Journalism
Muktamar NU
Rais Am, Amanah yang Berat dan Bukan Jabatan Duniawiah
Dalam tradisi NU jabatan rais am dipandang sebagai sebuah amanah yang berat, bukan jabatan duniawiah. Bukan jabatan yang diperebutkan
KH Maman Imanulhaq
Pengasuh Pondok Pesantren Al Mizan, Majalengka, Jawa Barat
Anggota DPR Komisi VIII Fraksi PKB
SEBENARNYA saya malu menyaksikan rapat pleno Nahdatul Ulama (NU) yang berlangsung Minggu, (2/8/2015) malam. Rapat yang membahas tatib Muktamar jadi sangat panas dan gaduh ketika membahas konsep pemilihan Rais Am dengan sistem musyawarah terbatas atau Ahlul Halli wal Aqdi (AHWA).
Tapi sebagai jamiyyah yang besar, NU memang memiliki warga dengan asal-usul, basis pengetahuan dan kepentingan yang plural, unik, dan sekaligus rumit.
Hanya segilintir orang yang berteriak dengan suara tinggi saat mengungkapkan pendapatnya. Sebagian besar peserta menyimak perdebatan itu dengan rendah hati atau tawadhu' dan tetap ta'dzim kepada sesama kyai.
Ini yang membuat saya yakin bahwa "kericuhan" tadi malam hanya "dinamika" organisasi sebesar NU. Semua peserta muktamar tidak akan lelah menjaga karakter ke-NU-an sebagaimana cita-cita para ulama pendiri NU. Ada yang mengatakan Muktamar NU di Jombang ini lebih ramai dan keras daripada Muktamar ke 32 di Makasar.
Saya yang hadir dalam Muktamar NU sejak Muktamar Situbondo -baik sebagai penggembira maupun sebagai peninjau- melihat Muktamar Ke 33 di Jombang sangat ramai dengan Muhibbin, menguras emosi muktamirin terutama soal AHWA dan sama-sama berpotensi mengacaukan akal sehat karena munculnya perang opini dan juga isu money politic.
Akibatnya, ketegangan di kalangan internal NU menjadi semakin mengental. Yang menolak AHWA seperti Gus Sholah dan Khofifah Indar Parawansa menilai bahwa AHWA ini dipaksakan karena jadi agenda politis salah satu Partai Politik (baca: PKB).
Sementara Saifullah Yusuf yang menerima AHWA menilai pemilihan langsung adalah pola demokrasi liberal yang tidak sesuai dengan tradisi Jamiyyah Ulama ini. Mereka yang menolak AHWA takut kepentingan dan calonnya tidak lolos.
Dalam perjalanannya NU selalu mengalami perdebatan sengit untuk suatu persoalan yang penting. Ambil misal, kasus metode pembelajaran modern ala KH Wahid Hasyim membuat banyak Kyai ramai-ramai menuduhnya tasyabuh (menyerupai) orang kafir.
Perdebatan Kyai Wahab Hasbullah dengan Kyai Bisri soal Posisi partai NU dalam badan legislasi bentukan Presiden Soekarno. Soal Asas Tunggal Pancasila yang harus dijelaskan KH Ahmad Siddik bahwa itu tidak bertentangan dengan Agama.
Last but not lease, bagaimana kegaduhan soal prilaku tokoh fenomenal NU, Gus Dur yang menjadikan sikap mufaroqoh Kyai Besar NU, KH Asad Syamsul Arifin.
Tapi Nahdlatul Ulama memiliki tradisi mengakhiri gegeran atau pertikaian menjadi ger-geran atau senda gurau. Tradisi ini yang berakar dari karakter NU yang penuh tawadhu' , toleran dan saling menghormati.
Konsep pemilihan Rais Aam melalui mekanisme AHWA seharusnya mencegah terjadinya money politics. Yang setuju atau tidak, tidak melakukan pemaksaan kehendak apalagi money politic.
Akan sangat mengkhawatirkan adalah kooptasi dan campur tangan pihak lain yang tidak mau NU besar. Orang-orang yang menginginkan negara ini kacau supaya dengan mudah diadu domba dan diekspolitasi sumber daya alamnya maka salah satu jalannya adalah menghancurkan NU.
Sebagai Ormas yang teruji dan terbukti mengawal nilai keislaman yang toleran dan progressif, NU adalah penghalang dan musuh utama para mafia, koruptor dan kelompok radikal anarkis. Yang membuat saya miris adalah money politic dan rebutan jabatan.
Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email [email protected]
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.