Tribunners / Citizen Journalism
Opini
Beras Palsu, Negara Palsu!
Bagi saya, kasus beras palsu yang kini terjadi harus dilihat dan disikapi secara serius.
TRIBUNNEWS.COM - Mungkin kehidupan di negara ini, telah sampai pada apa yang telah di ulas oleh Jean Paul Baudrillard sebagai Hiperrealitas dan dunia simulacra. ‘Ketika tak lagi yang berbentuk nyata, karena yang nyata hanyalah simulasi dan ilusi’ dari sebuah masyarakat posmodernisme yang kehilangan otentisitasnya.
Realitas demi realitas indonesia kontemporer, justru menunjukan era hiperealitas yang bisa jadi melampaui analisis filsuf posmedernisme kelahiran prancis itu sendiri. Kita sedang berada pada zaman, yang melampaui era "cyberblitz", karena di negeri ini proses simulasi dan kepalsuan bukan lagi terjadi pada arena, lambang, atau citra semata.
Kepalsuan telah merasuk sampai pada hal-hal yang begitu nyata dan kongkrit dari alam kehidupan sosial manusia indonesia. Kasus beras palsu, ijazah palsu, minuman keras palsu, dokter bedah palsu, sampai pada wanita palsu, telah membuka mata kita tentang dunia simulasi yang melampaui segala yang nyata, bahkan bisa jadi melampaui kepalsuan itu sendiri.
Terus terang, saya tak bisa membayangkan bagaimana sesuatu yang harusnya nyata dan kongkrit kemudian di palsukan dan disimulasikan. Beras, sebagai sumber kehidupan dan konsumsi masyarakat indonesia sejak berabad-abad yang bentuk dan rasanya begitu dikenali oleh masyarakat indonesia kemudian juga dipalsukan.
Jika yang dipalsukan adalah perangkat teknologi seperti handphone, jam bermerek, dan berbagai hal-hal lain yang bersifat simbolik demi lambang dan citra sosial maka hal itu mungkin masih bisa diterima karena bukan menyangkut hal yang primer bagi kehidupan manusia.
Namun jika beras pun dipalsukan, sesuatu yang bersifat primer dari hajat hidup orang banyak, tentu ini adalah peristiwa penghinaan nalar terbesar bagi rakyat dan bangsa yang hidup di negara ini. Karena beras adalah bagian dari keseharian dan menjadi penentu gerak kehidupan manusia-manusia indonesia.
Genoside
Bagi saya, kasus beras palsu yang kini terjadi harus dilihat dan disikapi secara serius. Karena membiarkan beras sintetis berbahan campuran plastik tersebut beredar secara luas, sama artinya negara melakukan pembiaran berlangsungnya peristiwa kejahatan genosida bagi rakyat negeri ini.
Saya tak habis pikir, jika dari dua ratus juta lebih penduduk Indonesia yang oleh sejumlah data nasional menyebutkan tujuh puluh delapan persen diantaranya mengkonsumsi beras, satu persen saja telah mengkonsumsi beras berbahan sintetis plastik tersebut, itu sama artinya kita sedang memberikan racun bagi hampir dua juta orang.
Peristiwa beras plastik ini, bisa jadi lebih kejam dibandingkan kasus pembantaian atas orang-orang Partai Komunis Indonesia, yang oleh Benedict Anderson memperkirakan jumlah korban meninggal sekitar 200.000 orang dan pada 1985 mengajukan perkiraan mulai dari 500,000 sampai 1 juta orang.
Jika satu persen saja penduduk indonesia yang telah mengkonsumsi beras plastik, tentu saja peristiwa tsunami aceh yang oleh beberapa sumber disebutkan menelan korban sampai 280 ribu jiwa, masih kalah dahsyat dibandingkan bencana nasional yang bisa ditimbulkan dari peristiwa beras plastik.
Jika negara tak mampu mengelola persoalan pangan ini dengan serius, maka kita juga bisa menggugat negara yang harusnya hadir sebagai pelindung dan pengatur hajat hidup orang banyak di negeri ini, sebagai negara palsu dan pemerintah yang kini sedang berkuasa sebagai pemerintahan palsu!
Karena, bukankah pemerintah memiliki tugas untuk mengurus hajat hidup rakyat? Kegagalan dalam mengurusi pangan utamanya beras, adalah kegagalan dalam mengurusi hajat hidup rakyat yang paling dasar, karena mayoritas rakyat negeri ini hidup dari mengkonsumsi beras.
Hiperrealitas
Sudah waktunya pemerintahan Jokowi dengan slogan ‘kerja’ berhenti membangun hiperrealitas di tengah publik. ‘Karena jika bekerja, tentu tak pernah ada beras sintetis ’. Kehadiran beras sintetis adalah bukti bahwa pemerintah tak bekerja dalam mengawasi distribusi pangan nasional, dan membiarkan rakyat mengonsumsi racun berwujud beras.
Sumber: Tribun Timur
Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email [email protected]
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.