Sabtu, 4 Oktober 2025

Blog Tribunners

Pendidikan Bukan Komoditas Bisnis

Mantan Presiden Afrika selatan, Nelson Mandela, mengatakan bahwa

Penulis: doni ramadhan
Editor: Widiyabuana Slay
zoom-inlihat foto Pendidikan Bukan Komoditas Bisnis
NET
Ilustrasi tiga doktor.

Ki Ajar Dewantara yang lahir pada tanggal 2 Mei 1889 memiliki dedikasi yang luar biasa dalam upaya menyebarkan minat belajar kepada masyarakat Hindia-Belanda alias Indonesia. Tujuannya, dengan merasuknya pendidikan ke dalam jiwa masyarakat, maka dengan sendirinya masyarakat Hindia-Belanda akan tergugah dan berpikir untuk memerdekakan diri. Maka, atas jasanya, tanggal kelahiran Ki Ajar Dewantara, yaitu tanggal 2 Mei, dijadikan sebagai Hari Pendidikan Nasional.

               Semboyan Ing ngarsa sung tulada (di depan menjadi teladan), Ing madya mangun karsa (di tengah membangun semangat), dan tut wuri handayani (di belakang memperbaiki) menjadi semboyan sakral dalam dunia pendidikan di Nusantara. Akan tetapi, benarkah ajaran yang terkandung dalam ketiga semboyan di atas dimiliki oleh para penyelenggara pendidikan di Negeri ini? Jika mau berkata jujur, tentu saja, jawabannya belum.

              Salah satu unsur yang berada di garis depan dalam dunia pendidikan adalah guru. Kata “guru”, secara etimologis berasal dari bahasa Sanskerta, kemudian diserap ke dalam bahasa Indonesia yang seharusnya bermakna “seorang yang ahli dalam bidang tertentu yang dianggap mulia”, bukan sekadar perantara pengetahuan atau “orang yang pekerjaannya mengajar”. Akan tetapi, makna guru kini telah bergeser—atau sengaja digeser—menjadi sebuah profesi, seperti yang didefinisikan di dalamKamus Besar Bahasa Indonesia (Edisi Ketiga, Balai Pustaka, Jakarta, 2002). Seharusnya, makna guru lebih merujuk kepada sebuah pengabdian, bukan sebuah profesi.

              Di sekolah-sekolah saat ini, sebenarnya sudah tidak ada lagi guru,  yang ada hanyalah pengajar. Karena pengajar zaman sekarang bukanlah orang yang mengabdikan diri untuk pendidikan, melainkan orang-orang yang menganggap mengajar adalah sebuah profesi. Selain itu, sebutan lain dari guru adalah pahlawan tanpa tanda jasa karena zaman dulu guru mengajar dengan sukarela dan menganggap mengajar adalah sebuah pengabdian. Jika merujuk kepada makna kata guru yang bearti seorang ahli dalam bidang tertentu yang dianggap mulia, tentu saja seorang guru memiliki kharisma dan teladan yang baik bagi murid-muridnya. Seorang guru tidak hanya memiliki kemampuan menguasai ilmu pengetahuan dasar, tetapi juga menguasai ilmu pedagogi (Darmaningtyas, op. cit.). Sedangkan para pengajar zaman sekarang adalah orang-orang yang tercetak dari kebutuhan akan suatu pekerjaan, sehingga bagi pengajar zaman sekarang yang penting adalah memiliki kemampuan untuk mengajarkan membaca, menulis, dan berhitung. Pengajar zaman sekarang jasanya sudah diberi tanda berupa gaji atau honor mengajar. jadi, pengajar zaman sekarang tidak tepat bila disebut “pahlawan tanpa tanda jasa” karena pengajar zaman sekarang bukanlah guru.

               Sistem pendidikan yang digambarkan di atas jelas sangat membutuhkan guru, bukan pengajar karena guru akan mampu untuk tidak sekadar memberi pelajaran dasar, melainkan juga mampu memberikan pelajaran moral, menanamkan benih kreativitas, intelektualitas, dan (yang pasti) orientasi mengajar seorang guru tidak tertuju kepada gaji, melainkan kepada panggilan jiwa untuk mengabdi. Selain itu, guru juga bisa menjadi teladan perilaku yang baik bagi para pelajar. Dalam bahasa Jawa, kata guru diartikan sebagai pemampatan dari kata digugu dan ditiruDigugu berarti orang yang didengar ucapannya dan ditiru berarti dicontoh tingkahlakunya.

Hilangnya Fungsi Sekolah

                Makna awal dari kata “sekolah” adalah “waktu senggang” (leisure), kemudian menjadi “obrolan santai”, lalu “tempat untuk kegiatan tersebut”. Kata “sekolah” berasal dari bahasa Latin, yaituschola, yang kemudian diserap ke berbagai bahasa menjadi école (Perancis), escuela (Spanyol), scuola(Italia), schule (Jerman), scola (Swedia), dan skola (Rusia)—(Roem Topatimasang, Sekolah itu Candu, INSTTPress).

                Dalam perjalanannya, makna kata “sekolah” dipersempit menjadi “tempat terjadi kegiatan belajar mengajar”. Sehingga dalam maknanya sekarang, sekolah adalah satu tempat yang berfungsi sebagai sarana untuk berbagi ilmu. Meskipun agak melenceng dari makna awalnya, namun dengan pengertian “sekolah” sebagai “sarana atau tempat untuk berbagi ilmu” masih bagus dan layak untuk diapresiasi.

                Sayangnya, fungsi sekolah sebagai sarana atau tempat berbagi ilmu (kegiatan belajar mengajar) hanya sebatas arti harfiah saja karena, pada kenyataannya, fungsi itu tidak lebih daripada formalitas belaka. Sekolah yang lebih mirip dengan penjara bisa dikatakan sudah kehilangan fungsinya sebagai tempat untuk mencerdaskan seseorang. Fungsi sekolah yang seharusnya adalah tempat belajar kini berganti—atau sengaja diganti—menjadi tempat transaksi bisnis karena di sekolah-sekolah sekarang kegiatan belajar hanyalah rutinitas yang membosankan.

                Fungsi sekolah yang telah berganti menjadi ajang transaksi bisnis hanya menjadikan pendidikan sebagai komoditas bisnis dan pelajar sebagai konsumennya. Seperti yang dituliskan di atas, apa pun kegiatan yang terjadi di sekolah, sebisa mungkin dikomersilkan oleh pihak sekolah. Bahkan, sekadar untuk ulangan saja, yang soalnya difotokopi oleh pengajar, pelajar harus membayar dengan harga yang beberapa kali lipat dari harga fotokopi yang sebenarnya. Misalnya, ada ulangan pelajaran Bahasa Indonesia. Soal yang difotokopi oleh pengajar sebanyak dua lembar dengan harga Rp. 400. Akan tetapi, pelajar diharuskan membayar Rp. 3. 000 oleh pengajar. Atau, kasus yang lain, untuk memarkir sepeda motor di halaman sekolah saja pelajar diharuskan membayar uang parkir. Hal ini sama saja dengan memarkir sepeda motor di halaman supermarket ketika akan berbelanja.

                Sekolah juga sudah tidak mampu mencetak kecendekiawanan pada lulusannya. Lulusan sekolah kebanyakan tidak mampu dan tidak berani untuk bersaing dalam kehidupan. Untuk pelajarnya, sekolah sudah tidak mampu menanamkan materi pelajaran di benak pelajar karena dalam satu hari pelajar dicekoki pelajaran yang banyak namun dengan sistem mengajar yang standar. Alhasil, pelajar menjadi limbung dan akhirnya tak ada satu pun pelajaran yang diingat. Selain itu, sekolah dalam hal ini telah gagal menanamkan rasa filantrofis kepada pelajarnya. Terbukti dengan selalu adanya permusuhan antar-pelajar dan seringnya terjadi tawuran. Ini menunjukkan bahwa, sekolah tidak mampu menanamkan nila-nilai kemanusiaan kepada pelajar.

                Sudah seharusnya semua yang terlibat dalam dunia pendidikan mengevaluasi diri, mengingat semakin terpuruknya kualitas pendidikan di negeri ini. Selenggarakan pendidikan gratis yang manusiawi, tempatkan guru (bukan pengajar) di sekolah, dan kembalikan fungsi sekolah sebagai sarana untuk memanusiakan manusia. Hilangkan segala bentuk bisnis di sekolah, hilangkan juga segala kepentingan politis dalam pendidikan karena pendidikan bukanlah komoditas bisinis atau ajang untuk politisasi.

Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email [email protected]

Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.

Rekomendasi untuk Anda
AA

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved