Sabtu, 4 Oktober 2025

Blog Tribunners

Pendidikan Bukan Komoditas Bisnis

Mantan Presiden Afrika selatan, Nelson Mandela, mengatakan bahwa

Penulis: doni ramadhan
Editor: Widiyabuana Slay
zoom-inlihat foto Pendidikan Bukan Komoditas Bisnis
NET
Ilustrasi tiga doktor.

                Belum lagi jika melihat sistem pendidikan di sekolah-sekolah di republik ini, masih sangat jauh dari harapan sebagai tempat yang diharapkan dapat membuat orang menjadi cerdas. Karena sekolah-sekolah—khususnya sekolah formal berbayar—masih menggunakan sistem pendidikan yang bersandar pada budaya industri (Atma Balaraja, “Upaya Pendidikan Gratis dan Merakyat”). Sistem pendidikan yang sengaja dibentuk mengikuti ritme dunia industri itu pada akhirnya hanya mencetak lulusan yang bermental budak, terjajah, dan amat tergantung pada dunia industri.

                Sisi kelam dunia pendidikan di republik ini dapat dilihat mulai dari adanya uang pangkal, uang daftar ulang, uang seragam, uang OSIS, sampai uang parkir bagi pelajar yang membawa kendaraan. Di tingkat sekolah dasar, masih saja ada pungutan-pungutan liar yang—untuk mengelabui masyarakat—dirubah istilahnya menjadi sumbangan. Sumbangan itu terdiri dari sumbangan buku paket, sumbangan perpisahan, dan sumbangan “aneh” lainnya yang harusnya bersifat sukarela (bukankah namanya memang sumbangan?), pada prakteknya wajib dipenuhi oleh semua pelajar.

                Kebiadaban sistem pendidikan yang dijadikan lahan bisnis lebih memiriskan lagi ketika ujian akan berlangsung. Pelajar yang tidak atau belum bisa melunasi biaya administrasi dilarang untuk mengikuti ujian. Selain sangat tidak manusiawi dan diskriminatif, dilarangnya pelajar yang belum selesai biaya adminitrasinya untuk mengikuti ujian itu akan berdampak buruk terhadap mental Si Pelajar. Si Pelajar menjadi malu, merasa kecewa, dan—bukan tidak mungkin—akan berpengaruh terhadap semangat belajarnya. Akan tetapi, pihak sekolah menjustifikasi perlakuannya kepada pelajar-pelajar yang belum selesai biaya administrasi dengan mengatakan, bila para pelajar itu diizinkan untuk mengikuti ujian, maka pihak sekolah khawatir akan terjadi kecemburuan sosial dari pelajar yang sudah melunasi biaya administrasi. Selain itu, pihak sekolah juga khawatir, jika para pelajar yang belum membereskan biaya administrasinya diperbolehkan mengikuti ujian, para pelajar itu (dalam hal ini wali murid)— karena merasa sudah ikut ujian—tidak kunjung membayar biaya adminitrasi. Suatu sikap dan pernyataan yang aneh yang seharusnya tidak dilakukan oleh penyelenggara pendidikan di negeri ini.

                Kemirisan berlanjut tatkala memasuki tahun ajaran baru. Para pelajar baru yang belum bisa melunasi uang pangkal (uang gedung) tidak akan mendapati namanya di daftar pengunguman pembagian kelas. Sederhananya, para pelajar yang belum bisa melunasi uang pangkal tidak mendapatkan kejelasan di kelas mana ia ditempatkan. Sedangkan pelajar yang sudah melunasi uang pangkal akan dengan mudah mendapati namanya di daftar pengunguman pembagian kelas. Alhasil, pelajar yang belum bisa melunasi uang pangkal hanya akan ditempatkan di satu ruang kelas yang khusus “menampung” para pelajar yang belum bisa melunasi uang pangkal. Ironisnya, meski berada dalam satu ruang kelas, para pelajar yang belum bisa melunasi uang pangkal tersebut sebenarnya berada di ruang kelas fiktif—karena ruang kelas yang menjadi tempat para pelajar itu hanyalah penampungan. Jika mereka tidak kunjung melunasi uang pangkal dalam waktu yang sudah ditentukan oleh pihak sekolah, maka para pelajar itu akan ditolak dari sekolah tersebut.

                Kejadian serupa terjadi pada para pelajar yang naik ke kelas selanjutnya. Bedanya, di sini bukan masalah uang pangkal, melainkan masalah uang daftar ulang. Pelajar yang belum bisa melunasi uang daftar ulang akan mengalami nasib serupa dengan juniornya, yaitu tidak mendapatkan ruang kelas. Dan jika tidak bisa melunasi uang daftar ulang dalam waktu yang ditentukan pihak sekolah, maka para pelajar itu akan di-skor atau dibiarkan begitu saja meskipun kegiatan belajar mengajar sudah berlangsung. Hal ini dilakukan oleh pihak sekolah dengan tujuan agar Si pelajar merasa malu dan tentunya akan merengek kepada orangtuanya agar segera melunasi segala beban biaya pendidikan. Hal ini, tentu saja, mencederai nilai-nilai luhur pendidikan.

                Sekolah yang hanya dijadikan lahan bisnis dengan proyek bisnis pendidikan hanya menjadikan sekolah sebagai bentuk lain dari penjara (Atma Balaraja, “Sekolah Samadengan Penjara”). Sekolah dengan sistem pendidikan yang sengaja diciptakan untuk memasok tenagakerja bagi dunia industri  hanya memenjarakan jiwa, daya kreativitas, dan daya intelektualitas pelajar. Jiwa pelajar terpenjara karena dipaksa oleh sekolah untuk menjadi manusia yang penurut, tidak banyak protes, dan digiring untuk tunduk kepada serangkaian aturan yang hampir sama dengan aturan di dalam penjara.

                Kreativitasnya terpenjara karena sekolah tidak bisa menjadi fasilitator untuk pelajar agar pelajar termotivasi untuk berkarya dan berinovasi serta tumbuh menjadi dirinya sendiri. Sekolah malah mengekang daya kreativitas pelajar dengan serangkaian kurikulum standar yang hanya mengajari pelajar untuk membaca, menulis, dan berhitung, serta sedikit pelajaran yang lain. Sekolah tidak mengajari pelajarnya dengan pelajaran kesenian yang cukup. Padahal dalam pelajaran kesenian terkandung nuansa-nuansa yang merangsang pelajar untuk menjadi kreatif.

                Daya intelektualitasnya terpenjara karena sekolah membekali para pelajar dengan pelajaran alakadarnya, seperti membaca, menulis, dan berhitung. Sedikit sekali pelajaran kewirausahaan—itu pun dengan pengajar yang bukan seorang wirausaha, melainkan seorang pengajar yang menerima gaji atau, dengan kata lain, seorang buruh. Sekolah juga tidak mengajari pelajarnya untuk berani mandiri. Sekolah malah menggiring pelajarnya agar siap-pakai di dunia kerja (industri) jika lulus nanti. Sekolah hanya memberikan pelajaran standar. Yang penting, pelajar bisa mendapat tempat di dunia kerja (itu pun jika Si pelajar beruntung).

                Sekolah sama atau hampir sama dengan penjara. Dalam penjara, jika seorang tahanan tidak memberikan upeti berupa uang kepada sipir dan tahanan yang lain, maka bisa dipastikan tahanan tersebut akan menjadi sansak hidup tempat berlatih tinju bagi sipir dan tahanan yang lain. Karena tidak memberikan upeti, maka ketika tahanan tersebut jadi bulan-bulanan tahanan yang lain, para petugas sipir tidak akan menolongnya, malah akan memberikan semangat kepada tahanan yang sedang “berlatih tinju” agar semakin keras memukul. Dengan begitu, tahanan yang menjadi bulan-bulanan atau keluarganya akan berusaha maksimal untuk mencari uang yang akan dijadikan persembahan kepada sipir.

                Di sekolah, jika pelajar belum melunasi segala biaya yang harus dilunasi, maka pelajar itu tidak akan diperbolehkan mengikuti kegiatan belajar, bahkan kelas pun tidak mendapatkan. Parahnya lagi, ketika pelajar yang berasal dari kalangan tidak mampu menjadi bahan cemoohan pelajar yang lain yang berasal dari kalangan mampu, pihak sekolah akan membiarkan itu terjadi karena pihak sekolah lebih berkepentingan terhadap lunasnya biaya administrasi ketimbang bersimpati kepada perasaan Si Pelajar.

Sikap sekolah dan pelajar yang berasal dari kalangan mampu yang arogan disebabkan oleh sistem pendidikan yang tidak didasari oleh prinsip-prinsip pendidikan yang sebenarnya. Sistem pendidikan yang hanya berorientasi kepada uang (money oriented) hanya menciptakan sikap-sikap yang arogan dan tidak menghargai rasa kemanusiaan. Jika saja sistem pendidikan didasari oleh nilai-nilai luhur dari pendidikan itu sendiri, niscaya akan tercipta sikap yang penuh toleransi, solider, dan menghargai rasa kemanuisaan. Karena dalam sistem pendidikan yang sebenarnya, terkandung ajaran moral yang agung, sehingga pengajar dan pelajar akan memiliki sikap filantrof yang santun.

                Akan tetapi, karena sistem pendidikan yang masih diselimuti kabut kapitalisme dan berbagai kepentingan politis lain, maka tidak heran jika kualitas pendidikan menjadi sangat memrihatinkan. Sistem pendidikan yang di dalamnya ada berbagai macam kepentingan bisnis hanya bertujuan menghasilkan keuntungan semata, tidak memikirkan tujuan yang seharusnya menjadi tujuan sejati dari pendidikan. Contohnya bisa dilihat dari sikap dan tingkahlaku para pengajar yang lebih mementingkan honor tanpa melakukan evaluasi serta peningkatan kinerjanya sebagai pengajar. Sementara dari para pelajar sendiri, contoh tingkahlakunya bisa dilihat dari aksi mereka yang gemar tawuran.

strong>Seharusnya Guru, Bukan Pengajar

                Raden Mas Soewardi Soerjaningrat atau yang lebih dikenal dengan nama Ki Ajar Dewantara adalah Bapak pendidikan di negeri ini. Melalui pemikiran-pemikirannya, banyak tokoh-tokoh seangkatannya menjadi tergugah untuk turut berpikir dan berjuang membebaskan Negeri ini dari penjajah. Salahsatu tulisannya yang menjadi tonggak pergerakkan adalah “Als Ik eens Nederlander Was” (“Seandainya Saya Orang Belanda”). Tulisan yang dimuat di Harian De Express milik Dr. Douwwes Dekker itu menunjukkan keberaniannya menentang rencana penarikkan sumbangan Pemerintah Kolonial Belanda dari masyarakat Hindia-Belanda untuk perayaan 100 tahun kemerdekaan Belanda dari penjajahan Spanyol.

                Karena tulisannya itu, Ki Ajar Dewantara harus menerima hukuman dari pemerintah Kolonial Belanda—melalui Gubernur Jendral A.F.W. Idenburg (masa jabatan 1909—1916) dengan hukumaninternering atau hukuman tahanan kota tanpa proses pengadilan. Ki Ajar Dewantara pun dibuang ke Pulau Bangka.

Halaman
123

Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email [email protected]

Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.

Rekomendasi untuk Anda
AA

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved