Tribunners / Citizen Journalism
Era Koruptor Menjajah Negeri
Setelah terbebas dari rezim Orde Baru yang represif dan korup, era reformasi malah memberi keleluasaan

Oleh Bambang Soesatyo*
TRIBUNNEWS.COM - Setelah terbebas dari rezim Orde Baru yang represif dan korup, era reformasi malah memberi keleluasaan lebih bagi koruptor untuk menggerogoti kekayaan negara. Dan, skandal Bank Century pun berkisah tentang periode penjajahan oleh para koruptor.
Jadi, sesungguhnya, rakyat Indonesia belum menikmati hakikat kemerdekaannya. Sejarah mencatat bahwa Periode transisi untuk mengonsolidasi kemerdekaan era ‘50-60-an sarat pergulatan politik. Instabilitas negara yang berkepanjangan pada akhirnya melahirkan rezim Orde Baru yang represif yang memerintah dalam rentang waktu lebih dari tiga dekade. Reformasi menumbuhkan banyak harapan.
Namun, karena reformasi memang tidak dirancang dan tidak dipersiapkan, Indonesia pun sampai pada situasi kenegaraan seperti sekarang ini, yang ditandai dengan ketidakmampuan sistem hukum memberangus korupsi. Kini, tidak berlebihan untuk mengatakan bahwa komunitas koruptor memainkan peran cukup signifikan dalam tata kelola negara. Disadari atau tidak, tata kelola negara menerima kehadiran mafia hukum, mafia peradilan, mafia pajak hingga mafia proyek. Bersama oknum birokrat pemburu rente, mereka inilah yang layak diidentifikasi sebagai komunitas koruptor yang sedang menjajah negeri tercinta.
Sebagai penjajah, komunitas koruptor mengendalikan segala sesuatunya, termasuk jalannya roda pemerintahan. Akibatnya, alih-alih independen, sebagian besar warga negara merasa pemerintah tidak pro rakyat. Sebagian lainnya bahkan melihat pemerintah nyaris tidak memerintah. Maka, jangan juga heran jika kepemimpinan nasional tidak efektif dalam beberapa tahun terakhir ini. Selalu diselimuti kebimbangan, dan tak segan menghindar atau lari dari masalah. Bimbang karena sudah terlalu banyak berkompromi, sehingga seringkali tidak berani mengambil keputusan, kendati menggenggam hak prerogatif.
Manajemen atau tata kelola negara tampak karut marut. Koordinasi pusat-daerah terus dirundung masalah. Dua institusi negara bahkan dibiarkan terperangkap dalam sengketa kewenangan. Pemerintah tidak pro aktif menegakan hukum serta peraturan perundang-undangan. Sebaliknya, membiarkan siapa saja membuat tafsir sendiri-sendiri atas semua pasal peraturan dan perundang-undangan yang diberlakukan di negara ini.
Dalam situasi kehidupan bernegara seperti itu, korupsi sudah barang tentu makin merajalela. Banyak oknum birokrat tidak profesional, karena lebih memrioritaskan pekerjaan kotor alias korup. Jangan heran kalau Indeks Persepsi Korupsi yang disajikanTransparency International sering membuat banyak orang di Indonesia seperti kebakaran jenggot.
Bahkan penegak hukum pun ikut-ikutan korup. Banyak oknum birokrat tidak lagi berperan sebagai abdi rakyat, tetapi berubah menjadi monster pemburu rente. Mereka tidak peduli apa pun. Warga miskin sekali pun diperas. Demikian brutalnya sehingga ihwal penganggaran proyek fasiliitas olahraga Hambalang tidak diketahui DPR. Bahkan oknum pejabat di bank sentral pun bersedia menjadi calo valuta asing. Banyak orang sudah kehabisan kata-kata untuk melukiskan skala korupsi di negara ini.
Respons sistem hukum nasional terhadap semua masalah dan kecenderungan itu terbilang sangat minimalis. Karena sejumlah alasan, kelambanan respons penegak hukum itu bisa dipahami. Antara lain karena institusi penegak hukum sendiri tidak bersih alias korup. Namun, faktor paling utama adalah good will atau kehendak pimpinan nasional yang tidak pernah jelas dan tegas. Semua hanya dipidatokan, tanpa eksekusi. Ketidaktegasan Instruksi seringkali malah menimbulkan masalah di lapangan, sebagaimana terjadinya sengketa kewenangan antara KPK dengan Polri dalam kasus dugaan korupsi pengadaan simulator SIM di Mabes Polri.
Terus Menguat
Sangat mudah untuk mengidentifikasi siapa yang paling menderita dari situasi negara yang dikontrol dan dikendalikan para koruptor. Tentu saja rakyat kebanyakan. Banyak masalah dibiarkan mengambang, tak terselesaikan. Kebutuhan pokok rakyat tidak dikelola sebagaimana mestinya, sehingga negeri agraris ini menggantungkan lebih dari 50 persen kebutuhan pangannya dari komoditi impor. Para pemain besar di pasar kebutuhan pokok diberi hak menggoreng harga seenaknya, sementara negara tak berdaya mengendalikan harga.
Sengketa agraria terus terjadi di berbagai pelosok daerah. Pertumbuhan ekonomi dikatakan tinggi, tetapi jutaan warga masih mengharapkan pembagian sembako gratis. Kemiskinan menyebabkan tindak kriminal meningkat sangat tajam dengan berbagai modus. Akhir-akhir ini, ekses kemiskinan terlihat sangat ekstrim; dari tindakan bunuh diri hingga membuang atau menjual bayi.
Peran komunitas Koruptor yang terus menguat menyebabkan hampir semua institusi negara terjajah. Eskalasi kekuatan komunitas koruptor sebenarnya dengan mudah terbaca ketika kita semua mengakui bahwa institusi peradilan pun sudah dikangkangi mafia hukum dan mafia peradilan. Kekuatan mafia hukum itu hakikatnya merupakan sebuah penjelasan bahwa demi uang suap atau komisi, para oknum petinggi negara mau saja kewenangannya dipreteli satu demi satu oleh para koruptor. Korupsi berjamaah yang semula menjadi basis pertahanan, kini sudah berubah fungsi menjadi faktor kekuatan untuk menekan.
Gambaran tentang eskalasi kekuatan atau kedigdayaan komunitas koruptor bisa dipotret dari ketidakmampuan institusi penegak hukum menuntaskan skandal Bank Century dan ketidakjelasan memerangi mafia pajak. Baik skandal Bank Century maupun mafia pajak adalah konspirasi kejahatan yang membidik pos-pos keuangan negara. Tentu saja konsipirasi kejahatan itu melibatkan oknum-oknum di bank sentral (Bank Indonesia) maupun oknum di Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan.
Selain diskon, favorit mafia pajak adalah memanipulasi restitusi pajak. Keduanya ‘mainan’ lama sejumlah oknum Ditjen Pajak yang baru terendus penegak hukum akhir-akhir ini. Sejauh ini, masyarakat belum melihat kesungguhan penegak hukum memerangi kejahatan yang satu ini. Tampak di permukaan hanya kasus per kasus dengan nilai pencurian pajak relatif kecil. Padahal, jelas bahwa mafia pajak adalah kejahatan terorganisasi yang harus melibatkan wewenang oknum pejabat tinggi negara. Sebab, nilai pencurian yang dikelola mencapai triliunan rupiah. Boleh jadi, penegak hukum gentar menghadapi organisasi kejahatan ini karena taruhannya adalah nyawa dan jabatan.
Karena itu, bisa dipahami jika penegak hukum terlihat maju mundur menghadapi konspirasi kejahatan yang mewujudkan skandal Bank Century. Pada akhirnya, harus dikatakan bahwa skandal Bank Century terjadi karena bertemunya dua kepentingan besar yang saling menunggangi, yakni antara kepentingan memburu jabatan dan rente, dengan kepentingan politik serta kekuasaan.Data baru plus sejumlah analisis jelas-jelas menunjukan bahwa oknum pejabat BI justru menjadi operator skandal ini, tentunya berdasarkan pesanan atau perintah.
Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email [email protected]
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.