Tribunners / Citizen Journalism
Musik Pop dan Budaya Popular
Kebudayaan zaman ini sebagai kebudayaan industri, di mana teknologi telah menjadi ideologi dan akal budi hanya instrumental
Dalam konteks seni, pemahaman tentang estetika ini sejatinya selalu berhubungan dengan ungkapan nilai keindahan, tetapi juga kebaikan (moral) dan kebenaran (ilmu pengetahuan). Ini yang kemudan disebutkan Plato bahwa musik memiliki pengaruh cukup kuat dalam bidang kehidupan. Musik tidak sekadar sebagai sarana hiburan, juga mencerminkan nilai moralitas dan watak suatu masyarakat. Sementara dalam budaya pop, estetika memiliki rumusan logikanya sendiri.
Menurut sosiolog Ignas Kleden, dikatakan bahwa kebudayaan pop lebih suka memilih estetika-resepsi daripada estetika-kreatif. Di mana produk kebudayaan yang ada direncanakan dan dibuat tidak lagi menurut dorongan kreatif dari dalam diri lubuk hati seniman, melainkan didorong menurut cita-rasa dan kemauan publik. Mengesampingkan estetika-kreatif. Di mana keindahan tidak lain dipandang dari sejauhmana kemampuan karya seni tersebut mampu untuk memenuhi secara memadai permintaan massa akan kepuasan kultural. Keindahan bukanlah sesuatu yang berhadapan dengan kriteria formal para kritikus, melainkan dengan kebutuhan nyata dari publik. Dalam hubungannya dengan struktur sosial, budaya pop bisa digolongkan sebagai kebudayaan kota dan industri. Sebagai gejala masyarakat industri ia mempunya dua ciri: pada satu pihak ia cenderung menjadi kebudayaan massa, di lain pihak ia cenderung menjadi kebudayaan sesaat.[2]
Terkait dengan budaya popular ini musikolog Franky Raden memandang, meskipun apresiasi musik masyarakat akhir-akhir ini menunjukkan adanya perkembangan menarik, tapi ia masih belum menunjukkan indikasi yang memberikan sumbangan mendasar terhadap kehidupan bangsa ini. Untuk itu memang perlu melahirkan seniman-seniman yang dapat menciptakan modus berkesenian dan karya-karya mampu yang mengangkat masalah sosial-budaya yang mendasar dan aktual dalam kehidupan masyarakat kita untuk menjadi isu penting yang bisa menarik perhatian segala kalangan masyarakat dalam lingkup nasional.[3]
Sebagamana disebutkan bahwa seniman tak bedanya dengan ulama yang memiliki tugas mulia untuk mewartakan pesan kebenaran, kebaikan dan kebajikan dalam hidup. Justru dari sinilah letak tanggungjawab seniman untuk tetap menempatkan nilai estetika sebagai hal perlu mendapat pertimbangan dalam berkarya. Karena di sini seni sebagai ekspresi perasaan dan pikiran tidak hanya sebatas menjadi pengalaman personal sang seniman, tetapi juga mengarungi alam perasaan, pikiran, dan alam kesadaran pendengarnya, penikmatnya. (Alex Palit, anggota Forum Apresiasi Musik Indonesia)
[1] Greg Soetomo, Krisis Seni Krisis Kesadaran, Kanisius, Yogyakarta, 2003
[2] Ignas Kleden, Kebudayaan Pop: Kritik dan Pengakuan, Prisma, Mei 1987
[3] Franky Raden, Melampaui Batasan Estetika Formal: tentang Pengkajian dan Pendidikan Tinggi Seni, Jurnal Kebudayaan Kalam, Edisi 5, Tahun 1995
Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email [email protected]
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.