Tribunners / Citizen Journalism
Musik Pop dan Budaya Popular
Kebudayaan zaman ini sebagai kebudayaan industri, di mana teknologi telah menjadi ideologi dan akal budi hanya instrumental
Dalam analisis teori kritisnya, menyebutkan kebudayaan masyarakat zaman ini sebagai kebudayaan industri, di mana teknologi telah menjadi ideologi. Sedangkan akal budi manusia sudah menjadi komponen instrumentalis, artinya ia hanya berpikir secara instrumental dan menyerahkan diri sebagai alat belaka.
Indikasi ini yang kemudian disebut Herbert Marcuse bahwa masyarakat modern sebagai masyarakat satu dimensi (One Dimensional Man). Dalam masyarakat berdimensi satu ini segala segi kehidupannya diarahkan pada satu tujuan saja, yakni keberlangsungan dan peningkatan pada sistem yang telah ada, dan yang tak lain adalah kapitalisme.
Di mana pada masyarakat satu dimensi ini semuanya diarahkan pada satu tujuan yaitu keberlangsungan kapitalisme. Ini berarti berarti akan menyingkirkan dan menindas kepentingan-kepentingan yang tidak sejalan, tidak sesuai atau satu selera dengan sistem yang mereka bangun dan mereka kondisikan. Nasib ini juga terjadi di musik.
Apa yang dikembangkan oleh para pemikir Sekolah Frankfrut lewat teori kritisnya ini menempatkan kajian bahwa budaya popular sebagai bentuk fetisisme, di mana masyarakat konsumen dijebak dalam lingkaran manipulasi kesadaran palsu, bersifat semu dan ilusif. Sementara pemberlakuan standarisasi terhadap musik pop merupakan rekayasa menjadikan pendengar pasif dan kehilangan daya kritisnya. Sebagai komoditas, musik tidak lagi menjadi pengalaman estetis, melainkan menjadi barang dagangan yang watak-wataknya ditentukan oleh kebutuhan pasar yang dikendalikan oleh pemodal (kapitalis).
Dalam analisis kritisnya, Adorno menyebutkan saat ini musik pop mengalami standarisasi. Begitu sebuah lagu dengan pola musik atau lirik tertentu sukses secara komersial, ia akan diperas habis sampai mengalami kejenuhan pasar. Seperti dikutip Strorey dari esai Adorno berjudul On Popular Music, bahwa dampak dari yang apa disebut kebudayaan massa ini telah mengalami reduksi yang bisa disebutkan sebagai berikut;
Pertama, adanya standarisasi pada musik pop. Begitu sebuah lagu sukses di pasaran akan diteruskan dengan terjadinya pengulangan (repetitif) dengan pola musikal atau lirik lagu bersangkutan akan dieksploitasi, diperas habis hingga kelelahan komersilnya, yang memuncak pada terjadinya kristalilasi standar pada lagu tersebut.
Kedua, musik pop mendorong pendengar pasif. Konsumsi musik pop senantiasa pasif dan repetitif, yang menegaskan dunia sebagaimana adanya, untuk kesenangan imanjinasi. Menstimulir pendengar pada dunia pengalihan dan pemalingan perhatian yang bersifat semu..
Industri musik menentukan nilai guna bagi produk-produk yang dihasilkan dan di pasarkan. Sementara khalayak secara pasif mengkonsumsi apa yang ditawarkan oleh industri musik. Mereka inilah menjadi korban budaya, yang secara ideologis dimanipulasi melalui musik yang mereka konsumsi. Saat ini keberadaan industri musik merupakan kepanjangan tangan dari industri kapitalis, sekaligus pembawa ideologi kapitalis.
Sedang dalam buku Dialektika Pencerahan (Dialectic of Enlightenment) yang ditulis bersama Horkheimer, Adorno memaparkan bahwa komoditi-komoditi yang dihasilkan oleh industri budaya diarahkan oleh kebutuhan untuk menyadari nilainya di pasaran, yang tak lain adalah mengeruk keuntungan. Motif keuntungan menentukan sifat berbagai bentuk budaya.
Apa yang ditawarkan oleh industri budaya hanyalah kemasan bentuk, dan bukannya substansi penyelesaian masalah, lebih sebagai pemuasan semu atas kebutuhan palsu sebagai pengganti solusi riil berbagai persoalan nyata. Dalam melakukan hal ini, industri budaya mengambil alih kesadaran massa. Ini yang disebut Adorno sebagai bentuk pendangkalan, dan keseragaman (konformitas) yang dilahirkan oleh industri budaya. Adorno memandangnya semua ini sebagai sebuah kekuatan yang amat destruktif.
Bahkan standarisasi pada industri budaya popular yang ada saat ini merupakan salah satu ciri penting musik pop. Kecenderungan ini sudah sepatutnya harus mendapat perhatian sungguh-sungguh dalam segala bentuk penilaian baik dari aspek kultural maupun politis. Di mana sebenarnya mereka adalah semata-mata bisnis yang kemudian berubah dan berkembang menjadi ideologi. Atas dasar pertimbangan komersialisasi, tidak hanya produk budaya yang distandarisasi, tapi juga selera dan cita rasa masyarakat dibentuk sedemikian rupa sesuai logika pasar. Karena pada intinya keberadaan industri budaya sangat tergantung dan bertumpu pada kekuatan modal dan pasar. Begitu pula dengan perkembangan musik pop.
Ada yang menyebutkan bahwa terjadinya krisis budaya adalah akibat kegagalan karya seni memainkan peran kritisnya. Asumsi ini didasarkan pada peran seni sebagai proses kreatif yang selalu berjalan beriringan dengan dinamika kehidupan telah kehilangan nilai estetika, sehingga tidak mampu lagi memancarkan makna dan auranya. Di mana seni sudah tidak mampu lagi menyemangati proses gerak dialektika untuk membebaskan manusia dari belenggu keirasionalannya.
Asumsi inipun tidak lepas dari titik tolak kerangka berpikir teori kritis yang dipopularkan pemikir Sekolah Frankfrut, di mana karya seni saat ini sudah dianggap tak lebih dari sekadar objek yang tidak memiliki keberdayaaan, yang tunduk pada hasrat dan selera kepentingan pasar. Dalam budaya popular seni telah disulap menjadi komoditas. Seni tidak lagi merupakan pengalaman estetis, tapi sudah beralih barang yang bisa dipertukarkan. Ini yang menurut Adorno bahwa seni telah dimanipulasi semata-mata untuk tujuan-tujuan ekonomis dan komersial, propaganda ideologis, serta memapankan penindasan-penindasan budaya.
Dengan membanjirnya hasil-hasil seni kitsch, maka daya apresiasi menjadi rendah dan daya kritis masyarakat terhadap seni pun tumpul. Karena pendengar sudah terbiasakan mendengarkan hit-hit dengan pola lirik-lirik pasif, cengeng, vulgar, dan mekanistik. Padahal sesuai kodratnya, seni sebagai gerakan pembebasan haruslah mengikutsertakan penelusuran dimensi estetika. Karena estetika dan gerakan pembebasan memiliki pertautan sasaran sebagai gerak emansipatoris untuk menuju proses pencerahan. Terhadap membanjirnya karya seni bersifat kitsch menjadi keprihatinan para pemikir teori kritis seperti yang dikembangkan di Sekolah Frankfrut.
Proses pencerahan itu sendiri tidak dapat diterangkan hanya dengan menggunakan perbedaan antara seni dan realitas hidup sehari-hari secara kognitif belaka. Karena karya seni tidak saja menampilkan posisi alternatif, melainkan secara spesifik memberikan perubahan dalam kesadaran si penikmat seni. Guna menerangkan daya pembebas karya seni, tampaknya teori estetika perlu memberikan landasan agar kita mampu sampai pada pengenalan bahwa hasil seni haruslah menawarkan sebuah gambaran atas realitas yang lebih tepat dan meyakinkan, daripada yang kita peroleh dalam gambaran kehidupan sehari-hari.[1]
Dalam konteks seni, pemahaman tentang estetika ini sejatinya selalu berhubungan dengan ungkapan nilai keindahan, tetapi juga kebaikan (moral) dan kebenaran (ilmu pengetahuan). Ini yang kemudan disebutkan Plato bahwa musik memiliki pengaruh cukup kuat dalam bidang kehidupan. Musik tidak sekadar sebagai sarana hiburan, juga mencerminkan nilai moralitas dan watak suatu masyarakat. Sementara dalam budaya pop, estetika memiliki rumusan logikanya sendiri.
Menurut sosiolog Ignas Kleden, dikatakan bahwa kebudayaan pop lebih suka memilih estetika-resepsi daripada estetika-kreatif. Di mana produk kebudayaan yang ada direncanakan dan dibuat tidak lagi menurut dorongan kreatif dari dalam diri lubuk hati seniman, melainkan didorong menurut cita-rasa dan kemauan publik. Mengesampingkan estetika-kreatif. Di mana keindahan tidak lain dipandang dari sejauhmana kemampuan karya seni tersebut mampu untuk memenuhi secara memadai permintaan massa akan kepuasan kultural. Keindahan bukanlah sesuatu yang berhadapan dengan kriteria formal para kritikus, melainkan dengan kebutuhan nyata dari publik. Dalam hubungannya dengan struktur sosial, budaya pop bisa digolongkan sebagai kebudayaan kota dan industri. Sebagai gejala masyarakat industri ia mempunya dua ciri: pada satu pihak ia cenderung menjadi kebudayaan massa, di lain pihak ia cenderung menjadi kebudayaan sesaat.[2]
Terkait dengan budaya popular ini musikolog Franky Raden memandang, meskipun apresiasi musik masyarakat akhir-akhir ini menunjukkan adanya perkembangan menarik, tapi ia masih belum menunjukkan indikasi yang memberikan sumbangan mendasar terhadap kehidupan bangsa ini. Untuk itu memang perlu melahirkan seniman-seniman yang dapat menciptakan modus berkesenian dan karya-karya mampu yang mengangkat masalah sosial-budaya yang mendasar dan aktual dalam kehidupan masyarakat kita untuk menjadi isu penting yang bisa menarik perhatian segala kalangan masyarakat dalam lingkup nasional.[3]
Sebagamana disebutkan bahwa seniman tak bedanya dengan ulama yang memiliki tugas mulia untuk mewartakan pesan kebenaran, kebaikan dan kebajikan dalam hidup. Justru dari sinilah letak tanggungjawab seniman untuk tetap menempatkan nilai estetika sebagai hal perlu mendapat pertimbangan dalam berkarya. Karena di sini seni sebagai ekspresi perasaan dan pikiran tidak hanya sebatas menjadi pengalaman personal sang seniman, tetapi juga mengarungi alam perasaan, pikiran, dan alam kesadaran pendengarnya, penikmatnya. (Alex Palit, anggota Forum Apresiasi Musik Indonesia)
[1] Greg Soetomo, Krisis Seni Krisis Kesadaran, Kanisius, Yogyakarta, 2003
[2] Ignas Kleden, Kebudayaan Pop: Kritik dan Pengakuan, Prisma, Mei 1987
[3] Franky Raden, Melampaui Batasan Estetika Formal: tentang Pengkajian dan Pendidikan Tinggi Seni, Jurnal Kebudayaan Kalam, Edisi 5, Tahun 1995
Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email [email protected]
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.