Sepakbola Untuk Semua: Misi Frank Amadio Beri Kesempatan Untuk Anak Kaum Marjinal
Seorang pria asal Inggris, membentuk akademi sepakbola bagi anak-anak yang termarjinalkan. Akademi itu bernama Garuda Lions
Frank mengatakan, Garuda Lions ini terbuka untuk umum, bukan hanya untuk anak-anak di daerah Tangerang, bahkan se-Indonesia.
"Ini bukan hanya untuk anak-anak di Tangerang, bisa dari Jakrta, bahkan se-Indonesia bisa kami terima asal mereka berasal dari kaum tidak mampu," tegas Frank.
"Mereka akan kami terima, dan jika orang tua mereka tak memiliki pekerjaan, kami akan bantu mereka mendapatkan pekerjaan di sini," jelasnya.
Rasanya terdengar klise, namun, itulah wujud Frank dalam berterimakasih kepada Indonesia yang telah menerimanya sebagai orang asing.
Frank sempat bercerita bagaimana dia dikucilkan saat berada di Inggris dan Italia, karena ia berdarah campuran.
"Ketika saya di Inggris, saya dianggap orang Italia, ketika saya di Italia, saya dianggap orang Inggris," ucap Frank.
"Tapi, di sini, Indonesia, meski saya orang asing, meski saya tak memiliki keluarga, mereka sangat menerima saya," ungkapnya.
Mimpi Frank Bawa Anak Didiknya ke Level Dunia

"Tidak ada seorang yang jenius tanpa sebuah pemikiran yang gila," begitulah sepenggal kalimat dari seorang Filsuf asal Yunani, Aritoteles.
Begitu juga dengan Frank, mungkin semua orang akan menganggap mimpinya gila saat ini, bagaimana tidak? dengan klub yang baru berdiri seumur jagung itu ia bermimpi bisa membawa anak-anak didiknya tampil di panggung internasional.
"Mungkin semua mimpi saya terdengar gila sekarang, tapi mari kita tunggu, saya akan membawa mereka tampil di panggung dunia," ujar Frank.
Tapi tunggu dulu, dari ratusan bintang sepak bola dunia, nama-nama seperti Cristiano Ronaldo, Lionel Messi, sampai Zlatan Ibrahimovic, lahir dari sepak bola arus bawah.
Menurut Frank, dengan Indonesia, dengan populasi manusianya yang terbesar nomor empat di dunia, tentu tak akan sulit mencari bibit pesepakbola bertalenta.
Terlebih, Frank pun mengklaim, pesepakbola yang lahir dari keluarga prasejahtera cenderung memiliki daya juang yang tinggi.
"Dengan penduduk Indonesia yang sekitar 270 juta, tentu banyak berisikan anak-anak yang bertalenta namun terbentur masalah ekonomi," ucap Frank.
"Namun, saya bisa menjamin, anak-anak yang lahir dari keluarga miskin mereka punya fighting spirit yang tinggi, karena ia harus berusaha sekuat tenaga untuk itu," tegasnya.
Dalam waktu beberapa waktu kedepan, ia pun bertekad akan memajukan Garuda Lions untuk lebih dikenal oleh masyarakat luas, terutama di Tangerang.
Apalagi, dengan Garuda Lions yang telah teregistrasi di Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia (PSSI) Tangerang, tentu ia berkesempatan untuk berlaga di Liga 3 Banten.
"Dengan telah terdaftar di PSSI Tangerang, kami akan segera berlaga di Liga 3, namun tergetnya bukan untuk menjadi juara," ujar Frank.
"Saya tidak akan mempermasalahkan jika mereka (Garuda Lions) kalah, yang saya ingin adalah mereka bisa menunjukkan kemampuannya. Maka kemudian, anak-anak di bawahnya bisa melihat bahwa ada kesempatan untuk menjadi pemain sepak bola," tegas pria yang ternyata penggemar Chealsea FC.
Satu diantara dua pelatih di Garuda Lions, Syaiful Amri membeberkan alasannya bergabung dalam Garuda Lions.
Pria berusia 35 tahun itu ternyata memiliki visi yang sama dengan Frank, yang sama-sama ingin memajukan sepak bola usia dini.
"Alasan saya mau bergabung karena saya punya visi yang sama dengan dia (Frank), kami sama-sama suka sepak bola usia dini," ungkap Syaiful.
"Apalagi, ini gratis kan, jadi semua anak-anak bisa gabung, dan ini bagian dari pembinaan sepak bola, karena di Indonesia ada masalah di pembinaan usia muda," sambungnya.
Frank pun mengulas, bagaimana sistem yang dijalankan di Indonesia dalam penyaringan anak-anak muda usia dini.
Menurutnya, banyak talenta-talenta yang harus terbuang pasca mereka selesai dari akademi sepak bola-nya.
Frank pun membahas cara kerja dua klub kecil di liga Inggris yang dinilai cocok menjadi analogi dalam kasus ini.
"Mereka membuat banyak uang, Brentford menghasilkan 156 juta poundsterling dalam enam tahun, mereka menghasilkan pemain dan kemudian menjual mereka. tuturnya," kata Frank.
"Begitu juga Brighton, mereka mengembangkan seorang bek tengah, Ben White, dan juga Cucurella yang mereka jual ke Chelsea," lanjutnya.
Butuh Banyak Dukungan
Demi menjalankan klubnya, tentu Frank dan April membutuhkan dana yang besar agar bisa bertahan, wajar saja, akademi ini tak memungut biaya sepeser pun bagi siapapun.
Ali, satu diantara anak-anak yang tergabung di Garuda Lions. Ali adalah anak berdarah Afghanistan yang telah menetap di Indonesia selama tiga tahun.
Ali dan teman-temannya yang belum bisa bermain karena tak memiliki sepatu, jelas membutuhkan suntikan dana untuk menunjang kebutuhannya untuk bisa mewujudkan cita-citanya sebagi pemain sepak bola.
"Mereka (anak-anak) butuh sepatu sepak bola yang layak, banyak yang tidak pakai sepatu yang tidak layak. Sepatu ini penting untuk berlatih," ujar pelatih Garuda Lions, Syaiful.
Beberapa waktu lalu, Frank mengatakan, ia mendapatkan donasi sepatu-sepatu bekas dari rekannya asal Belanda, dan menurutnya hal itu sangat membantu.
Lebih lanjut, ia pun berharap ada pihak yang tergerak, termsuk PSSI untuk bersama memajukan sepak bola bagi anak-anak dari keluarga prasejahtera.
"Bagaimana pemerintah, PSSI, klub membantu program pengembangan ini? kita harus melakukan sesuatu, tutur Frank.
"Karena jika kita tidak memiliki pelatih yang berkualitas, maka kita tidak akan memiliki pemain yang berkualitas, dan jika tida memiliki pemain berkualitas, kita tidak memiliki sepak bola yang berkualitas," sambungnya.
Frank pun kemudian membandingkan sepak bola Indonesia dan di negara asalnya, Inggris, menurutnya tak ada yang berbeda dari segi bibit pemain mudanya.
Perbedaan yang mencolok hanyalah postur tubuh, namun menurutnya Indonesia diunggulkan karena bermain lebih lincah.
"Tak ada yang berbeda antara pemain-pemain muda di Indonesia dan Inggris, hanya postur yang berbeda," kata Frank.
Tak hanya itu, ia pun membeberkan alasannya mengapa membutuhkan pengembangan pelatih di Garudan Lions dan di Indonesia secara umum.
Menurutnya, pelatih berperan besar dalam kemajuan sepak bola di suatu negara, oleh karena itu ia menganggap hal itu menjadi titik fokus selain mencetak pemain.
"Tapi, pelatih sepak bola grassroot di Inggris memiliki standar yang tinggi, dan mereka memiliki dukungan yang baik, itulah yang harus kita lakukan di sini," ucap Frank.
"Oleh karena itu di Garuda Lions, kami fokus mengembangkan pelatih, tidak hanya pemain, mendatangkan orang lain untuk datang, termasuk mencari bantuan keuangan untuk membayar lisensi," sambungnya.
(ALFARIZY/M39)