Senin, 6 Oktober 2025

Cerita Desi, Penenun Muda di Labuan Bajo Bertahan Demi Warisan Leluhur

Desi, penenun muda di Labuan Bajo, terus melestarikan warisan ibunya meski harus duduk berjam-jam dan melawan pegal demi kain tenun indigo.

IBRIZA FASTI IFHAMI
TENUN - Desi (25), satu dari beberapa pengrajin tenun di Puncak Waringin, Labuan Bajo, Nusa Tenggara Timur (NTT), tampak serius membuat kain tenun, saat ditemui, pada Kamis (10/7/2025). Desi menceritakan suka dukanya dalam menenun. (Ibriza/Tribunnews) 

TRIBUNNEWS.COM, LABUAN BAJO — Di sebuah sudut tenun Puncak Waringin yang menghadap lautan biru Labuan Bajo, tampak seorang perempuan muda tengah khusyuk menggerakkan benang demi benang. Namanya Desi, usianya 25 tahun. 

Ia bukan sekadar perajin biasa, melainkan penjaga tradisi tenun warisan turun-temurun dari keluarganya di Nusa Tenggara Timur (NTT).

Dengan alat tenun tradisional yang disebut gedogan, Desi duduk bersila sejak pagi. 

Pinggangnya terikat pada dua bilah kayu, sementara kakinya lurus menopang alat. 

Tangannya tak berhenti bekerja, maju-mundur, merangkai benang menjadi motif indah yang penuh makna.

"Saya menenun karena lihat mama menenun," kata Desi kepada Tribunnews.com, Kamis (10/7/2025). "Dulu waktu kecil saya suka lihat mama kerja. Lama-lama jadi tertarik, akhirnya saya belajar sendiri."

Desi mulai menenun sejak usia 19 tahun. Kini, keahliannya telah membuatnya mampu menghasilkan karya-karya tenun bermotif khas Manggarai Barat, seperti motif mata manuk dan komodo.

Tak hanya bernilai estetika tinggi, setiap lembar kain buatannya punya nilai ekonomi dan budaya yang besar.

"Kain ini ukurannya beda-beda. Ada yang dua meter, ada yang empat meter. Kalau bahannya dari benang alami, biasanya harganya Rp800 ribu sampai Rp1 juta," jelas Desi.

Namun, bukan harga itu yang paling mahal. Desi menyebut, kain tenun yang diberi warna indigo alami justru bisa menembus harga hingga Rp5 juta.

Pewarna itu didapat dari pohon bernama pohon sampah, yang sangat langka dan hanya tumbuh di wilayah tertentu.

"Itu susah sekali cari bahannya. Harus dari pohon tertentu. Karena itu mahal. Orang kampung sini juga jarang punya," ungkap Desi.

Baca juga: Kisah para remaja perempuan Afganistan yang jadi penenun karpet akibat dilarang bersekolah oleh Taliban

Penuh Tantangan, Tapi Tak Gentar

Menjadi penenun tradisional bukanlah pekerjaan ringan. Selain harus teliti dan sabar, proses pembuatan satu kain bisa memakan waktu satu bulan penuh, bahkan lebih.

"Kalau motif biasa sebulan. Tapi kalau ada yang pesan motif khusus, bisa tiga bulan baru selesai," tutur Desi.

Halaman
12
Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved