Sabtu, 4 Oktober 2025

Transformasi Kawasi: Dari Desa Terpencil ke Kawasan Tambang, Tantangan Lingkungan Menanti

Perubahan yang terjadi di Kawasi memang luar biasa, namun perlu dikawal dengan pendekatan lingkungan hidup yang cermat dan berkelanjutan

HO/IST  
GELIAT PEMBANGUNAN - Pemandangan Desa Kawasi, Kecamatan Obi, Kabupaten Halmahera Selatan, Maluku Utara. Pembangunan infrastruktur mulai menjamah desa ini beriringan dengan tantangan keberlanjutan lingkungan. (HO/IST) 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA  - Desa Kawasi, Kecamatan Obi, Kabupaten Halmahera Selatan, Maluku Utara mengalami transformasi besar dalam 17 tahun terakhir.

Dari desa terpencil tanpa akses dan infrastruktur, Kawasi kini menjadi kawasan permukiman dengan fasilitas modern—sebuah perubahan yang tak lepas dari kehadiran industri tambang, khususnya Harita Nickel.

Namun di balik perubahan fisik dan sosial itu, tersimpan tantangan besar terkait keberlanjutan lingkungan.

Prof. Dr. Ir. Eymal Bahsar Demmallino, M.Si., Ketua Program Studi S3 Ilmu Lingkungan Universitas Hasanuddin sekaligus Konsultan Amdal, menyampaikan, perubahan yang terjadi di Kawasi memang luar biasa, namun perlu dikawal dengan pendekatan lingkungan hidup yang cermat dan berkelanjutan.

“Dulu, Kawasi sangat terisolasi. Tidak ada infrastruktur, ekonomi hanya bersifat subsisten, dan penyakit menular masih marak karena layanan kesehatan yang minim. Kini, semua berubah sangat drastis,” ujar Prof. Eymal dalam kunjungan lapangannya dikutip Senin (19/5/2025).

Dalam penyusunan dokumen Addendum Andal dan RKL-RPL proyek peningkatan kapasitas produksi tambang, Prof. Eymal menekankan pentingnya evaluasi dampak lingkungan menyeluruh.

Baca juga: Kronologi Mobil Dinas Bupati Halmahera Selatan Bassam Kasuba Dihadang Puluhan Mahasiswa

Kawasi Baru kini telah memiliki jalan beraspal, listrik, air bersih, sekolah, hingga pelabuhan perikanan. Pendapatan rumah tangga meningkat, dengan rata-rata di atas Rp5 juta per bulan. Namun, pertumbuhan pesat ini membawa risiko ekologis yang harus diantisipasi.

Menurut Prof. Eymal, ada lima tantangan lingkungan utama yang harus ditangani Harita Nickel agar transformasi Kawasi tidak menjadi bumerang ekologis:

  1. Pemindahan Penduduk dan Tata Ruang Berbasis Lingkungan

Sekitar 100 kepala keluarga belum berpindah dari Kawasi Lama ke Kawasi Baru.

Selain isu sosial, ketidakpindahan ini dapat menimbulkan tekanan terhadap zona-zona rawan ekologis jika tidak diatur secara berkelanjutan.

2. Pertumbuhan Penduduk dan Ketimpangan Sosial-Ekologis

Rekrutmen tenaga kerja dari luar membuka potensi urbanisasi cepat. Ini berisiko membebani sumber daya alam lokal dan fasilitas publik jika tak disertai pengelolaan yang berbasis daya dukung lingkungan.

3. Emisi dan Polusi Udara

Meskipun perusahaan telah membangun settling pond dan dust collector, Prof. Eymal mendorong penggunaan teknologi Continuous Emission Monitoring System (CEMS) untuk pemantauan emisi secara real-time—sebuah langkah penting demi transparansi dan akuntabilitas lingkungan.

4. Kesehatan Lingkungan

Peningkatan fasilitas kesehatan penting tidak hanya untuk manusia, tetapi juga untuk menanggulangi dampak kesehatan akibat pencemaran air, udara, dan tanah di sekitar wilayah tambang.

5. Ekonomi Hijau dan Kemandirian Lokal

Tantangan jangka panjang adalah membangun ekonomi masyarakat yang tidak bergantung pada tambang, dengan mendorong sektor pertanian, perikanan, dan jasa ramah lingkungan.

“Transformasi seperti ini idealnya tidak hanya meningkatkan kesejahteraan ekonomi, tapi juga menjaga ekosistem dan kualitas lingkungan hidup jangka panjang,” ujar Prof. Eymal.

Antara Industrialisasi dan Ketahanan Lingkungan

Kehadiran industri memang bisa mempercepat pembangunan, namun juga dapat menciptakan tekanan baru pada lingkungan jika tidak diimbangi dengan tata kelola ekologis yang kuat. Kasus Kawasi menjadi contoh konkret bagaimana industrialisasi dan pembangunan harus berjalan selaras dengan perlindungan lingkungan.

“Jika tantangan-tantangan ini dijawab dengan serius, Kawasi bisa menjadi model pembangunan industri berbasis lingkungan di kawasan timur Indonesia,” kata Prof. Eymal.

 

 

Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved