Kamis, 2 Oktober 2025

Pegiat Lingkungan Hadapi Tantangan dalam Advokasi Kelestarian Teluk Sepang Bengkulu

Pegiat lingkungan Nukila sebut tindakan reprisal (tindakan pembalasan) adalah cara lama yang selalu dipakai aktor berpengaruh untuk menakut-nakuti

Penulis: Choirul Arifin
Editor: Eko Sutriyanto
dok pribadi
LINGKUNGAN HIDUP - Pengiat lingkungan Nukila Evanty di Jakarta belum lama ini. Dia bersama Inisiasi Masyarakat Adat (IMA) di Teluk Sepang, Bengkulu, awal tahun 2025 menemukan adanya dugaan dan tindakan pembalasan (reprisal) terhadap para pegiat lingkungan hidup.(Dokumen Pribadi) 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Para pegiat lingkungan hidup yang tinggal di sekitar daerah industri ekstraktif di Teluk Sepang di Bengkulu menghadapi beragam tantangan saat melakukan upaya advokasi menjaga kelestarian lingkungan mereka dari ancaman risiko kerusakan lingkungan.

Tantangan tersebut antara lain datang pemerintah hingga aktor berpengaruh di daerah tersebut, serta perusahaan yang memiliki kepentingan atas lahan dan kawasan di wilayah tersebut untuk kepentingan industrinya.

Hasil riset yang dilakukan pegiat lingkungan Nukila Evanty bersama Inisiasi Masyarakat Adat (IMA) di Teluk Sepang, Bengkulu, awal tahun 2025, menemukan adanya dugaan  tindakan pembalasan (reprisal) terhadap para pegiat lingkungan seperti intimidasi, tindakan kekerasan, hingga dilakukan kriminalisasi atas nama baiknya. 

”Dugaan yang saya temukan para pegiat lingkungan ini dibungkam aktivitasnya,” kata Nukila yang juga menjadi Ketua Inisiasi Masyarakat Adat.

Menurut Nukila, sebagai aktivis, ia mengakui bahwa tindakan reprisal, adalah cara lama yang selalu dipakai aktor berpengaruh untuk menakut-nakuti para pegiat lingkungan. 

Dalam banyak kejadian dibeberapa tempat yang dia kunjungi, reprisal bisa berupa serangan fisik dan psikis, ancaman, penangkapan sewenang-wenang, pencemaran nama baik, dan pengucilan sosial. 

Baca juga: Pemanfaatan Hutan dan Ketahanan Pangan: PPI Dunia Tekankan Pentingnya Kelestarian Lingkungan

"Yang menjadi sasarannya adalah masyarakat adat, dan aktivis yang menyelidiki isu-isu lingkungan hidup, serta mereka yang berkampanye menentang industri-industri yang merusak seperti pertambangan, penebangan kayu, dan agribisnis," ungkapnya dikutip Jumat, 31 Januari 2025.

Menurut Nukila, situasi ini harus diintervensi dengan program-program yang bersifat kolaboratif.  

”Setiap tahun, para pegiat lingkungan hidup harus berjuang demi melindungi rumah, mata pencaharian, dan kesehatan bumi kita. Bahkan para pegiat  perempuan yang paling rentan diserang karena gender," ungkapnya.

Karena itu, para pegiat lingkungan perempuan menghadapi serangan dari dua sisi, selain menjadi sasaran aktivisme mereka, mereka juga menghadapi pelanggaran hak-hak khusus gender,” kisah Nukila.

Dia menyebutkan, sejak tahun 2016, masyarakat Kelurahan Teluk Sepang, Bengkulu, telah menolak pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU). Mereka mengalami kendala berkomunikasi dengan perusahaan. Namun, mendapatkan bantuan advokasi dari pegiat lingkungan.

Salah satu aktivis menyebutkan dia menghadapi berbagai tindakan reprisal. ”Misalnya dia  mengalami pengucilan dari aktivitas sosial dan pemerintahan di kelurahan. Selama satu tahun, ia tidak lagi dilibatkan dalam kegiatan masyarakat.

Dia juga mengaku sering diikuti oleh orang-orang tak dikenal setelah aksi demonstrasi yang dilakukan. 

Anggota pegiat lainnya juga merasakan hal serupa, di mana ia dan anggota seperjuangan lainnya sering diabaikan dalam berbagai kegiatan komunitas. 

"Dia juga mengaku mendapatkan tawaran uang dari perusahaan untuk menghentikan perjuangannya,” kta Nukila.

Halaman
12
Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved