Minggu, 5 Oktober 2025

Kisah Pilu Pasangan Muda Pengungsi Gunung Agung, Kandungan 8 Bulan Meninggal di Perut

Tampak pengungsi Gunung Agung asal Desa Ban, Kecamatan Kubu, Karangasem, ini sangat terpukul dengan kematian si jabang bayi.

Editor: Hendra Gunawan
Tribun Bali/Ratu Ayu Astri Desiani
Ni Luh Sekar Dwipayani dan suaminya I Kadek Witama masih tampak terpukul saat ditemui di RSUD Buleleng. Senin (25/9) siang. Pasangan pengungsi ini harus kehilangan cabang bayinya. 

Laporan Wartawan Tribun Bali, Ratu Ayu Astri Desiani

TRIBUNNEWS.COM, SINGARAJA - Duka mendalam dirasakan pengantin muda, Ni Luh Sekar Dwipayani (17) dan I Kadek Witama (18).

Di tengah pengungsian, pasangan ini harus kehilangan calon bayinya karena meninggal dalam kandungan saat memasuki usia 25 minggu atau delapan bulan.

Baca: Catut Nama Gegana, Pembunuh Sopir Taksi Online Tewas Ditembak Polisi

Sekar Dwipayani terbaring lemah di Ruang Melati, RSUD Buleleng, Senin (15/9/2017) siang.

Suaminya, Witama, setia mendampinginya.

Tampak pengungsi Gunung Agung asal Desa Ban, Kecamatan Kubu, Karangasem, ini sangat terpukul dengan kematian si jabang bayi.

Janin yang sudah berusia 25 minggu di dalam kandungan Sekar dinyatakan meninggal sejak Minggu (24/9/2017) siang.

Kini ia harus menunggu keputusan dari pihak medis, kapan sekiranya tindakan untuk mengeluarkan jasad janin yang ada di dalam kandungannya dapat dilakukan.

Sebelumnya, Sekar mengaku tidak merasakan keluhan sakit pada perutnya. Ia mulai curiga saat tidak merasakan adanya gerakan dari dalam kandungannya seperti pada hari-hari biasanya.

Sekar kemudian langsung memeriksakan kondisi kehamilannya pada seorang petugas kesehatan yang berjaga-jaga di tempat peengungsiannya, di Desa Les, Kecamatan Tejakula, Buleleng.

"Sampai di pos kesehatan, petugas medis tidak menemukan adanya gerakan jantung pada janin, kemudian istri saya langsung dirujuk ke Puskesmas Tejakula I. Setelah di Pusekesmas Tejakula I, kembali dirujuk ke RSUD Buleleng," kata Witama saat ditemui di RSUD Buleleng.

Selama mengandung, sang istri sejatinya tidak pernah melakukan aktivitas yang berat.

Pasutri muda yang baru saya menikah sekitar satu bulan ini pun juga mengaku jarang menempati tempat pengungsian di Desa Les, Buleleng.

"Kami mengungsi kalau sudah malam. Kalau pagi sampai siang kami pulang lagi ke desa," aku Witama.

Halaman
12
Sumber: Tribun Bali
Rekomendasi untuk Anda
AA

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved