Kamis, 2 Oktober 2025

Potret Kehidupan Warga di Perbatasan Timor Leste

Bendera merah-putih berkibar di Dusun Uspisera, Desa Ustutun, Kecamatan Wetar Barat, Kabupaten Maluku Barat Daya

Penulis: Glery Lazuardi
Editor: Sanusi

TRIBUNNEWS.COM, WETAR BARAT - Bendera merah-putih berkibar di Dusun Uspisera, Desa Ustutun, Kecamatan Wetar Barat, Kabupaten Maluku Barat Daya, Provinsi Maluku pada Rabu (20/9/2017).

Berkibarnya bendera pusaka itu menandakan salah satu wilayah di Pulau Lirang itu masih bagian dari Indonesia.

Pulau seluas 23,62 km persegi itu merupakan pulau terluar dari Indonesia. Meskipun terpisah lautan, wilayah itu berhadapan langsung dengan Pulau Atauro yang merupakan bagian dari Negara Timor Leste. Di batas jalan terakhir Pulau Lirang, terdapat posko perbatasan yang dijaga satuan penugasan pulau terluar dari TNI.

Dusun Uspisera berada di tempat terpencil. Untuk sampai ke tempat tertua dan terujung di pulau itu, dapat ditempuh melalui jalur darat ataupun laut. Jalur darat dilalui dengan cara berjalan kaki di bibir pantai yang menempuh jarak 4 km.

Di sisi kiri dapat melihat pemandangan laut lepas. Sedangkan di sisi kanan terdapat bukit-bukit gersang. Sementara jalur laut menggunakan kapal nelayan dapat ditempuh memakan waktu sekitar 15 menit.

Sungguh miris apabila melihat kehidupan 25 Kepala Keluarga (KK) yang tinggal di tempat itu. Sebab, mereka masih hidup di bawah garis kemiskinan. Mereka tinggal di rumah sederhana berjarak sekitar 20 meter dari bibir pantai.

Warga sekitar membuat rumah sederhana itu secara bergotong royong. Mereka memisahkan antara kamar tidur, tempat masak, dan ruang keluarga. Rata-rata ruangan itu terbuat dari anyaman bambu, beratapkan daun rumbia, dan berlantaikan pasir pantai. Untuk buang air, warga tidak mempunyai tempat mandi cuci kakus (MCK) sehingga hanya dibuang di belakang rumah.

Salah satu rumah terdiri dari delapan orang tinggal di rumah berukuran sekitar 8X12 meter tersebut. Untuk memisahkan satu ruangan dengan ruangan lainnya hanya ada anyaman bambu. Orang tua maupun anak-anak, hidup dalam kondisi tempat tinggal yang serba kekurangan tersebut.

"Kami di sini tinggal berenam (anak,-red). Anak pertama berumur 17 tahun. Kami sekolah," ujar seorang anak perempuan dari keluarga tersebut, kepada wartawan, Rabu (20/9/2017).

Untuk menghidupi kehidupan sehari-hari, para lelaki dari keluarga itu mencari nafkah menjadi nelayan. Sekitar enam buah perahu berlabuh di bibir pantai yang menggunakan tali diikat ke pohon. Sejumlah jaring-jaring yang digunakan untuk menangkap ikan ditaruh di dekat rumah.

Sementara itu, perempuan dan sebagian pria bercocok tanam dan memelihara hewan, seperti babi dan kambing. Masyarakat lokal menanam pohon pepaya dan kelor untuk menjadi santapan sehari-hari dan menu pendamping ikan. Hanya sejumlah tanaman saja yang dapat tumbuh di wilayah itu, karena hujan jarang membuat kondisi tanah menjadi gersang.

“Suami bertani. Ada juga (laki-laki,-red) yang menjadi nelayan,” tutur Lisbeth.

Belum ada listrik masuk ke tempat itu sehingga untuk penerangan warga di perbatasan menggunakan pelita ataupun mesin diesel. Untuk menyalakan diesel selama 12 jam diperlukan 10 liter solar, di mana harga 1 liter solar seharga Rp 10 ribu. Sehingga, warga harus merogoh kocek sebesar Rp 100 ribu untuk menyalakan listrik selama 12 jam.

Sayang, karena akses yang sulit dijangkau, maka sebagian besar hasil bumi di tempat itu dipergunakan untuk mereka sendiri. Melihat kondisi di Dusun Uspisera, maka warga memutuskan untuk pindah ke wilayah lain di Pulau Lirang.

Akhirnya, mereka pindah ke tengah-tengah pulau yang tempatnya lebih layak. Belakangan ini sudah ada Desa Ustutun dan kantor Kecamatan Wetar Barat, sebagai tempat aktivitas warga sehari-hari.

Di pusat pemukiman penduduk sudah terdapat fasilitas pendidikan mulai dari SD hingga SMP, jalan desa, dermaga, puskesmas pembantu serta sarana air bersih. Tempat ibadah, seperti masjid dan gereja juga sudah dibangun. Terakhir, pemerintah menyediakan akses listrik yang dikelola Perusahaan Listrik Negara (PLN).

“Aslinya orang sana (Desa Ustutun,-red) di sini (Dusun Uspisera,-red), karena masih ada mata pencaharian di sini maka masih ada yang di sini. (Dusun Uspisera,-red) Kampung tua, lebih dahulu di sini. Tahun 1990-an pindah,” tambah Prayoga, anggota Satuan Tugas Marinir Pulau Terluar.

Kekurangan Gizi

Direktur Medik dan Keperawatan Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Ratna Dwi Restuti, mengatakan warga Pulau Lirang mengalami kekurangan gizi. Ini disampaikan setelah RSCM bersama dengan PLN menyelenggarakan pengobatan gratis dan sosialisasi kesehatan di Pulau Lirang, pada Rabu (20/9/2017).

“Iya (kekurangan gizi,-red) terkait pola makan setiap hari. Di sini protein ikan, sayur tidak setiap hari dimakan. Pemenuhan jenis zat gizi yang dibutuhkan tidak terpenuhi,” kata Ratna.

Kekurangan gizi tidak lepas dari kondisi lingkungan di Pulau Lirang. Curah hujan rendah membuat wilayah itu gersang. Hanya sayur-sayuran jenis tertentu saja yang dapat tumbuh di sana, seperti kelor, labu, dan pepaya. Untuk itu, perlu dicaritahu apakah ada jenis lainnya yang dapat tumbuh di tempat itu. Sehingga dapat menjadi asupan makan bagi warga.

“Kita harus cari tanaman apa yang tumbuh di sini. Kalau memang ada tanaman tidak cocok dengan tanah, kita minta bantuan teman-teman ahli di bidang pertanian supaya kebiasaan makan sayur terjadi,” ujarnya.

Selain masalah kekurangan gizi, masyarakat juga kesulitan mendapatkan akses kesehatan. Walaupun di pulau itu terdapat puskesmas, namun, tidak ada tenaga dokter. Di puskesmas itu hanya ada perawat, bidan, dan tenaga kesehatan lain. Oleh karena itu, kehadiran dokter sangat diperlukan bagi masyarakat.

Tidak adanya tenaga medis dan fasilitas penunjang kesehatan, maka warga memilih untuk berobat ke Maluku yang menempuh perjalanan melalui jalur laut selama 20 jam ataupun ke Negara Timor Leste. Untuk masuk ke negara itu, warga hanya menunjukkan kartu identitas dan surat perjalanan.

Pulau Lirang merupakan salah satu wilayah endemis penyakit malaria. Pada tahun 2016, setidaknya tercatat 43 kasus yang menimpa warga. Selain itu, penyakit-penyakit lainnya, seperti kulit dan mata juga kerap dialami.

“Kehadiran dokter sangat diperlukan bagi masyarakat di sini. Tentu ideal menempatkan seorang dokter, minimal satu orang. Selama ini tidak ada dokter, jadi kalau pasien yang menderita penyakit perlu dirujuk harus jauh sekali ke Ambon maupun Timor Leste. Walaupun lebih dekat, tetapi ke negara lain,” ujarnya.

Tak hanya itu, dia menambahkan, warga perlu diberikan sosialisasi gaya hidup sehat sehingga terhindar dari penyakit. Untuk di Dusun Uspisera, kata dia, warga diminta memakai alas kaki karena tidak ada jamban, di mana orang buang air besar sembarangan, rumah beralaskan tanah, setelah itu naik ke atas kasur.

“Edukasi berulang-ulang mengubah perilaku tidak mudah. Tugas kita semua tidak hanya tertumpu di Kementerian Kesehatan, tetapi juga kementerian lain dan sektor-sektor lain. Jadi bareng-bareng, kalau sendiri susah,” tambahnya.
Pilih ke Timor Leste Daripada Indonesia

Apabila melihat kondisi serba kekurangan dan keterbatasan yang dialami warga Pulau Lirang, maka pemerintah Indonesia diminta memperhatikan warga. Selama ini, warga Pulau Lirang justru banyak mendapatkan bantuan dari Negara Timor Leste. Hal ini tak lepas dari jarak yang hanya dapat dijempuh selama 2 jam 30 menit perjalanan laut.

Hanya berbekal surat perjalanan dan kartu identitas, warga Pulau Lirang dapat ke Timor Leste. Ini membuat warga lebih memilih ke negara itu. Dibandingkan harus pergi ke Ambon, Provinsi Maluku, yang ditempuh selama 20 jam perjalanan laut ataupun ke kota-kota besar lainnya.

Tak adanya tenaga dokter dan fasilitas penunjang kesehatan memadai, membuat warga memilih berobat ke Timor Leste. Harga berobat ke negara yang dulunya merupakan provinsi ke-27 Indonesia itu cukup terjangkau. Selain itu, warga yang mayoritas mencari nafkah sebagai nelayan juga menjual ikan sampai ke negara itu.

Sistem barter atau tukar menukar barang dengan barang masih diterapkan. Warga menjual ikan untuk mendapatkan bahan sembako ataupun keperluan lainnya. Kedekatan hubungan ini sudah terjalin sejak dahulu sebelum Timor Leste berpisah dengan Indonesia, di mana warga Pulau Lirang berdagang di wilayah itu, bahkan ada yang sampai menikah.

“Kalau tidak diperhatikan rawan. Ada pintu masuk ke Timor Leste. Banyak dibantu dari Timor Leste,” tutur Asnadi, anggota Satuan Tugas Marinir Pulau Terluar, kepada wartawan, Rabu (20/9/2017).

Namun, perlahan situasi mulai berubah. Setelah 72 tahun merdeka, pemerintah pusat mulai memperhatikan kondisi kehidupan warga di salah satu pulau terluar itu. Pada 7 Agustus lalu, Menteri BUMN, Rini Soemarno beserta jajaran datang ke tempat tersebut.

Di kesempatan itu memberikan subsidi listrik dan dipasang BTS telkomsel untuk keperluan komunikasi. Berselang satu bulan kemudian, PLN dan Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo datang untuk memberikan bantuan dan pengobatan gratis untuk warga sekitar.

“Dulu tidak pernah menonton TV. Sekarang nonton di satu tempat yang mempunyai TV. Sinyal Telkomsel bulan Agustus,” tambahnya.

Rekomendasi untuk Anda
AA

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved