Menabung 35 Tahun, Akhirnya Tukang Jahit Difabel di Banjarnegara Bisa Naik Haji
Jemantar Muhammad Mansur (62), warga dusun Banagara RT 2/2 Dusun Banagara Desa Mantrianom, Bawang sampai sekarang masih sulit percaya
"Karena keterbatasan fisik, saya bisanya cuma menjahit. Pekerjaan ini saya tekuni hingga sekarang,"katanya
Pekerjaannya itu pun ia jalani dengan berat.
Di awal perjuangannya, ia harus berjalan kaki tiap hari memakai alat bantu sepanjang 1,5 kilometer menuju tempat mangkalnya di komplek Pondok pesantren Tanbihul Ghofilin Mantrianom, Bawang.
Beruntung, empat tahun belakangan ini, seorang donatur mendermakan motor tua kepadanya.
Ia pun memodifikasinya dengan roda tiga agar bisa dikendarai.
Penghasilan sebagai tukang jahit ternyata tak menentu.
Kecenderungan masyarakat kini lebih memilih membeli pakaian jadi produk pabrikan atau konveksi ketimbang menggunakan jasa penjahit.
Membeli pakaian jadi dirasa lebih praktis dan jauh lebih murah daripada menggunakan jasa penjahit untuk membuatkannya.
Jemantar akhirnya lebih banyak mengandalkan momentum ajaran baru untuk memperoleh penghasilan lebih.
"Saya biasa menjahit seragam anak sekolah dan santri. Kalau bukan pas momentum ajaran baru, pendapatan tak menentu. Pernah sehari hanya dapat Rp 5000,"katanya
Dalam kondisi ekonomi tak menentu, Jemantar harus menghidupi istri dan enam anaknya.
Karena keterbatasan biaya, ia hanya mampu menyekolahkan tiga anak pertamanya sampai tamat Sekolah Dasar (SD).
Ia lantas memasukkan anak-anaknya itu ke pesantren yang menggratiskan biaya pendidikan.
Sementara anak bungsunya kini masih menginjak bangku kelas 1 Madrasah Aliyah (MA).
Karena kondisi ekonomi yang kurang, penghasilan Jemantar lebih banyak habis untuk menutupi kebutuhan keluarga yang menjadi prioritasnya.