Kisah Penuh Liku-liku Perjuangan Pasutri Dirikan Sekolah untuk Anak Berkebutuhan Khusus
emiliki keterbatasan fisik tak membuat anak-anak enggan bersekolah dan menuntut ilmu.
Saat itulah, ia pun mulai memberanikan diri untuk meminta bantuan. Ia pun mencari dukungan ke pihak kelurahan Glanggang.
Beruntung waktu itu, ada gedung TK yang tidak digunakan dan dimanfaatkan. Gedung TK yang dulunya tak terpakai itupun dimanfaatkannya untuk mengajar.
“Aktivitas belajar-mengajar saya lakukan pagi hari. Karena siang harinya saya bekerja. Pekerjaannya serabutan, pokoknya bisa menghasilkan uang,” jelasnya.
Hasil dari bekerja, kata dia, digunakan untuk biaya operasional sekolah, dan sebagian untuk biaya makan dan kebutuhan anak istrinya.
Mulanya, tidak ada permasalahan berarti. Namun, lambat laun, ia pun merasakan beban yang berat.
Ia harus membayar relawan yang ikut mengajar di sekolahnya, bayar operasional sekolah dan biaya lainnya.
“Saya tidak memasang tarif , bagi ABK yang belajar di sekolah ini. Sekolah ini gratis, semuanya saya yang menanggungnya. Tapi saat itu, kondisi saya sangat kritis, aduh sempat galau juga,” kenangnya.
Sempat Ingin Bubarkan Sekolah
Ia sempat berniat mau membubarkan sekolah ini. Namun, ia tidak tega melihat siswanya yang terpaksa kehilangan haknya mendapatkan pendidikan.
Di satu sisi, ia juga tidak mungkin bertahan dengan kondisi seperti saat itu.
Akhirnya, ia pun kembali memutar otak dan memutuskan untuk mencari sumbangan.
“Selain menggunakan uang pribadi, saya pun mulai mensosialisasikan dengan mencari donatur untuk operasional sekolah. Sayang, upaya untuk mencari donatur tidaklah mudah. Beberapa kali datang ke rumah orang-orang kaya yang berada disekitar sekolah, tapi tidak menghasilkan,” jelasnya
Alih- alih mendapatkan bantuan, lanjut Umar, mencari bantuan melalui proposal ini membuat hatinya semakin sakit.
Proposal yang berisikan persoalan anak-anak berkebutuhan khusus, hanya diambil dan diletakkan begitu saja.
Jangankan dibaca, dibuka saja tidak. Hal itu, membuatnya merasa tak lagi memiliki harapan kepada orang-orang yang diharapkan bisa memikul tanggungjawabnya.
“Saya justru dianggap seperti pengemis. Saya hanya diberi uang Rp 5.000 tanpa meliha isi proposal,” tandasnya.