Kisah Asmara Nyoman Rai Srimben, Ibunda Putra Sang Fajar Soekarno
Sang Proklamator sekaligus Presiden ke-1 Republik Indonesia Soekarno lahir dari rahim Nyoman Rai Srimben. Berikut sekelumit ceritanya.
Sampai suatu hari Srimben yang kala itu masih berusia 18 tahun nekat menuruti ajakan Soekemi untuk kawin lari tanpa sepengetahuan keluarga.
Keputusan kawin lari ini karena keduanya meyakini pernikahannya tidak akan disetujui orangtua karena berbeda adat dan agama.
“Sampai sore Rai Srimben tidak pulang ke rumah. Semua orang sebanjar mencari-cari sambil membunyikan kentongan. Ternyata setelah beberapa hari diketahui kawin lari dengan Soekemi dan tinggal di rumah kerabatnya yang seorang polisi, masih di Singaraja,” ungkap dia.
Hardika tidak menampik pernikahan Srimben dengan Soekemi mendapat pertentangan dari keluarga besarnya. Secara perlahan keluarga menghargai apa yang telah menjadi keputusannya.
“Dia secara adat Bali dikatakan mekutang atau dibuang, tetapi tidak dibuang dalam arti harfiah, melainkan terputus secara adat dan agama. Keluarga akhirnya mengatakan sebagai wanita yang baik ikutilah suamimu,” tutur Hardika.
Pernikahan keduanya melahirkan anak pertama bernama Soekarni Wardoyo selama setahun tinggal di Buleleng. Sampai pada akhrinya pasangan ini memutuskan untuk pergi ke Surabaya.
Dan saat berangkat ke Surabaya itulah tanpa sepengetahuannya Srimben sedang hamil seorang bayi yang kelak bernama Soekarno. Keduanya pergi ke Surabaya menaiki kapal dari Pelabuhan Buleleng.
Ada kisah misterius saat kapal akan berangkat ke Surabaya. Konon kapal tidak bisa bergerak, padahal saat dicek nakhoda dan menurut anak buah kapal tidak ada kerusakan mesin. Kapal dalam kondisi normal.
“Di dalam kapal ada seorang pendeta. Dia lihat satu per satu penumpang sampai matanya tertuju pada Rai Srimben. Dia bilang Srimben sedang mengandung. Pendeta itu membaca mantra dan memercikkan air ke Srimben. Beberapa saat kemudian mesin kapal hidup dan bisa berjalan,” kenang Hardika.
Pagi hari saat matahari mulai terbit, 6 Juni 1901 di Surabaya, Soekarno dilahirkan. Ketika itu ia lahir bertepatan dengan tragedi melestusnya Gunung Kelud.
“Karena lahir pada pagi hari ada tetenger, dia disebut sebagai putra Sang Fajar. Ada seorang pintar meramalkan anak itu kelak akan menjadi seorang besar yang berguna bagi masyarakat luas dan negara,” ungkap Hardika.