Kisah Asmara Nyoman Rai Srimben, Ibunda Putra Sang Fajar Soekarno
Sang Proklamator sekaligus Presiden ke-1 Republik Indonesia Soekarno lahir dari rahim Nyoman Rai Srimben. Berikut sekelumit ceritanya.
Laporan Wartawan Tribun Bali, Lugas Wicaksono
TRIBUN-BALI.COM, BULELENG - Sang Proklamator sekaligus Presiden ke-1 Republik Indonesia Soekarno lahir dari rahim Nyoman Rai Srimben, wanita asal Banjar Bale Agung, Paket Agung, Buleleng, Bali.
Ada beragam kisah dramatis saat Rai Srimben menjalin asmara dengan Raden Soekemi, guru asal Blitar, Jawa Timur, hingga melahirkan Soekarno.
Bale Agung terletak sekitar 200 meter selatan simpang empat Tugu Catus Pata Kota Singaraja. Suasana klasik masih terlihat saat memasuki pemukiman rumah yang menjadi tempat lahir Srimben.
Beberapa bangunan lama masih dipertahankan, satu di antaranya yang paling terlihat adalah lima bangunan Jineng atau lumbung padi yang masih berdiri kokoh.
Di satu sudut bale, siang itu Made Hardika (72) sedang serius melukis potret Soekarno di atas kanvas. Pria ini adalah cucu dari generasi keempat keturunan Nyoman Rai Srimben.
Di usia senjanya Hardika lebih banyak menghabiskan waktunya dengan melukis. Sesekali ia menulis naskah cerita drama tentang Rai Srimben.
Hardika menceritakan, Srimben kecil tidak banyak mendapatkan kasih sayang dari orangtuanya. Ketika itu ibunya, Made Liran memutuskan untuk bercerai dengan ayahnya, Nyoman Pasek setelah menolak dimadu.
Anak kedua dari dua bersaudara ini kemudian tinggal bersama kakeknya Jro Mangku Nebel yang seorang pemangku di Pura Desa Bale Agung.
Srimben dirawat kakeknya sampai usia remaja. Layaknya gadis Bali pada umumnya kala itu, ia mengisi hari-harinya dengan menenun.
Saat ada upacara-upacara ia juga membantu kakeknya ngayah di pura dengan membuat canang ataupun bebantenan.
Srimben remaja juga pandai menari. Keluwesannya dalam menari inilah yang membuat Raden Soekemi jatuh hati kepadanya.
Ketika itu Soekemi seorang Jawa yang menyukai adat dan budaya Bali tertarik menyaksikan Srimben menari tarian rejang saat ada upacara piodalan di pura desa.
Keduanya kemudian berkenalan dan hubungan keduanya semakin dekat. Soekemi saat itu tercatat sebagai guru di Sekolah Rakyat yang kini bernama SD Negeri 1 Paket Agung.
“Kala itu minat anak-anak untuk sekolah masih kurang. Soekemi mencari murid-murid sampai ke banjar-banjar dan sejak itu dia sering main ke Bale Agung,” kata Hardika kepada Tribun Bali, Jumat (7/10/2016).
Sampai suatu hari Srimben yang kala itu masih berusia 18 tahun nekat menuruti ajakan Soekemi untuk kawin lari tanpa sepengetahuan keluarga.
Keputusan kawin lari ini karena keduanya meyakini pernikahannya tidak akan disetujui orangtua karena berbeda adat dan agama.
“Sampai sore Rai Srimben tidak pulang ke rumah. Semua orang sebanjar mencari-cari sambil membunyikan kentongan. Ternyata setelah beberapa hari diketahui kawin lari dengan Soekemi dan tinggal di rumah kerabatnya yang seorang polisi, masih di Singaraja,” ungkap dia.
Hardika tidak menampik pernikahan Srimben dengan Soekemi mendapat pertentangan dari keluarga besarnya. Secara perlahan keluarga menghargai apa yang telah menjadi keputusannya.
“Dia secara adat Bali dikatakan mekutang atau dibuang, tetapi tidak dibuang dalam arti harfiah, melainkan terputus secara adat dan agama. Keluarga akhirnya mengatakan sebagai wanita yang baik ikutilah suamimu,” tutur Hardika.
Pernikahan keduanya melahirkan anak pertama bernama Soekarni Wardoyo selama setahun tinggal di Buleleng. Sampai pada akhrinya pasangan ini memutuskan untuk pergi ke Surabaya.
Dan saat berangkat ke Surabaya itulah tanpa sepengetahuannya Srimben sedang hamil seorang bayi yang kelak bernama Soekarno. Keduanya pergi ke Surabaya menaiki kapal dari Pelabuhan Buleleng.
Ada kisah misterius saat kapal akan berangkat ke Surabaya. Konon kapal tidak bisa bergerak, padahal saat dicek nakhoda dan menurut anak buah kapal tidak ada kerusakan mesin. Kapal dalam kondisi normal.
“Di dalam kapal ada seorang pendeta. Dia lihat satu per satu penumpang sampai matanya tertuju pada Rai Srimben. Dia bilang Srimben sedang mengandung. Pendeta itu membaca mantra dan memercikkan air ke Srimben. Beberapa saat kemudian mesin kapal hidup dan bisa berjalan,” kenang Hardika.
Pagi hari saat matahari mulai terbit, 6 Juni 1901 di Surabaya, Soekarno dilahirkan. Ketika itu ia lahir bertepatan dengan tragedi melestusnya Gunung Kelud.
“Karena lahir pada pagi hari ada tetenger, dia disebut sebagai putra Sang Fajar. Ada seorang pintar meramalkan anak itu kelak akan menjadi seorang besar yang berguna bagi masyarakat luas dan negara,” ungkap Hardika.