Kontroversi Gafatar
Bekas Pengikut Gafatar Asal Sumsel Memilih Pulang Kampung dan Cari Kerja
Warga Sumatera Selatan ini insyaf setelah mengikuti Gafatar dan sempat hijrah ke Kalimantan bersama pengikut Gafatar lainnya.
Laporan Wartawan Sriwijaaya Post, Welly Hadinata
TRIBUNNEWS.COM, PALEMBANG - "Belum tahu mau kemana, sekarang masih cari kerja dulu. Kalau ada program transmigrasi, saya siap kok," ujar Zainal Abidin (48).
Warga Sumatera Selatan itu insyaf setelah mengikuti organisasi Gerakan Fajar Nusantara dan sempat hijrah ke Kalimantan Barat bersama pengikut Gafatar lainnya.
Setelah kembali dari Kalimantan Barat melalui Boyolali, lalu sampai di Palembang, Zainal bersama bekas pengikut Gafatar lainnya sementara tinggal di Panti Karya Harapan Wanita, Jalan Panti Sosial, Kelurahan Kebun Bunga, Kecamatan Sukarami KM 10 Palembang, Senin (1/2/2016).
Sambil menebarkan senyumnya, Zainal tampak sudah mulai terbuka untuk berinteraksi dengan orang lain, begitu juga temannya, Muhammad Ainur Fahmi (30).
Dinas Sosial Sumatera Selatan memfasilitasi interaksi kedua bekas pengikut Gafatar itu dengan media di Palembang, namun hanya Zainal dan Fahmi yang bersedia ditemui, sementara istri dan anak-anak mereka tidak bisa ditemui karena kondisinya masih trauma.
"Kalau saya mungkin pulang kampung ke Purworejo, Jawa, karena saya asli dari sana. Rencananya sih mau berternak saja di kampung yang penting hidup. Jadi, anak dan istri saya yang asli Palembang ini juga saya bawa ke kampung asal saya," ujar Fahmi.
Keduanya sempat meluruskan sejumlah pemberitaan media yang selama ini menyatakan mereka hilang.
Mereka dan keluarga sebetulnya sudah pamit kepada keluarga masing-masing dan selama hijrah mereka bermukim di Kabupaten Kayung Utara, Kalimantan Barat, bukan di Kabupaten Mempawah.
"Kita tidak menghilang, hanya saja di Kayung Utara itu susah sinyalnya. Jadi susah berkomunikasi dengan keluarga. Saya dan Pak Zainal pamit kok sama keluarga kami di Palembang sebelum pindah," beber Fahmi.
Soal ketertarikan keduanya bergabung lebih karena visi dan misi yang ditawarkan Gafatar, yakni berbangsa dan bernegara dengan dasar kerukunan dan kesejahteraan.
Keduanya semakin tertarik karena ada program ketahanan pangan, sehingga mereka dan keluarganya pindah ke Kalimantan.
"Saya kenal Gafatar tahun 2013. Selama di Kalimantan, kami hidup saling tolong menolong dan kebersamaan. Kalau bahasa Pancasilanya gotong royong. Kami hidup untuk bermasyarakat dan bukan bernegara. Memang mayoritas banyak yang tidak mampu, jadi kami saling tolong menolong untuk kesejahteraan bersama," ucap Zainal.
Ditanyai soal kepercayaan, menurut Zainal, pengikut Gafatar tidak membahas soal ritual. "Ada yang bilang kami tidak percaya Nabi Muhammad, tapi saya sendiri sampai saat ini masih percaya. Untuk masalah religi itu urusan pribadi masing-masing dan Gafatar tidak ada membahas ritual ibadah. Kami hanya organisasi dan tidak membahas ritual, tapi sekarang sudah bubar," sambung dia.
Hal senada diungkapkan Fahmi yang sempat hidup tiga bulan di Kalimantan hanya bercocok tanam, selain itu tidak ada aktivitas lainnya.
"Saya pindah ke Kalimantan, intinya kami ingin mencari kehidupan yang lebih layak. Saya tahu dari teman-teman di Kalimantan, seperti mendapatkan tanah untuk pertanian. Hubungan kami dengan warga setempat baik-baik saja, karena setiap hari mencangkul terus, jadi kami ditawari tanah oleh warga setempat.
Awal targetnya bertani padi, tapi masih fokus bercocok tanam sayuran seperti menanam ketimun. Bahkan kami sempat panen ketimun," ujar Fahmi.
Mereka sempat menolak ketika dijemput perwakilan Pemerintah Provinsi Sumsel dari Boyolali, pertimbangannya karena saat itu bingung karena kondisi istri dan anak-anak mereka trauma.
Muncul pertanyaan di benak mereka, apakah warga Sumsel mau menerima mereka sebagai bekas pengikut Gafatar yang santer diberitakan pengikut ajaran sesat.
"Kami hanya menghindar, apakah nantinya diterima atau tidak. Sementara ini istri dan anak-anak sudah mulai hilang traumanya. Sebetulnya saya sudah dijemput keluarga saaya di Jogja, tapi setelah dijelaskan, memang harus diselesaikan dulu di Palembang. Karena saya memang dari Palembang," ujar Fahmi.
Sementara Zainal beranggapan karena takut tidak diterima masyarakat sehingga memilih bertahan di Boyolali.
"Sampai saat ini saya masih survei dulu, apakah diterima aatau tidak. Karena ada yang bilang saya disebut sebagai guru besar, itu tidak benar sama sekali. Intinya kami pindah ke Kalimantan untuk kehidupan lebih baik. Di Gafatar dulu saya di bidang ekonomi dan kesejahteraan, sedangkan Fahmi di bidang olahraga," ujar Zainal.