Berita Eksklusif Jawa Timur
Sopir Bus Ogah Jadi Kambing Hitam
“Jangan selalu kami yang disalahkan karena banyak juga kok penyebab lainnya,” kata Sutriono, sopir bus Harapan Jaya, Senin (21/10/2014).
TRIBUNNEWS.COM,SURABAYA - Para sopir menolak tudingan sebagai biang utama kecelakaan.
Mereka menyebut ada banyak faktor yang memicu laka.
“Jangan selalu kami yang disalahkan karena banyak juga kok penyebab lainnya,” kata Sutriono, sopir bus Harapan Jaya, Senin (21/10/2014).
Saat mendadak rem blong, kata Sutrino, laka bukan murni kesalahan sopir.
Seorang sopir, katanya, tidak memiliki kewajiban mengecek kondisi kendaraan sampai detail.
Checking bus dilakukan montir khusus di bengkel perusahaan. Sopir tahu kondisi bus layak jalan, karena telah direkomendasi pihak bengkel dan manajemen.
Sikap pengendara lain juga kerap menjadi penyebab. Dia mencontohkan, pernah terlibat adu kecepatan dengan mobil pribadi.
Saat itu, dia sudah memberi tanda untuk meminta jalan. Kernetnya pun sudah melambaikan tangan.
Namun, mobil itu tidak mau memberi jalan dan memilih menggeber mobil.
“Ya kadang kami ini kan emosi kalau sudah begitu. Kalau mau selamat semuanya, ya kita memilih mengalah saja,” katanya lagi.
Dia mengakui, bekerja menjadi sopir bus memang kadang menjemukan. Setiap hari, para sopir ini melaju di lintasan sama.
Kejenuhan itu menurut Sutrino sedikit banyak mempengaruhi kondisi psikologis sopir.
Karena itu, kadang di antara sopir ada yang emosinya mudah tersulut. Namun, jumlah sopir yang sabar dan waspada jauh lebih banyak.
Sutriono sudah hampir 20 tahun mengabdi di PO Harapan Jaya dan tidak pernah mendapatkan masalah serius di jalan.
Para sopir, kata pria asal Trenggalek ini, mengeluhkan kemacetan yang terjadi di jalan.
Macet inilah yang membuat waktu tempuh menjadi lebih lama. Dia menuding, kondisi jalan juga menjadi penyebab terjadinya kecelakaan.
Saat ini, dia harus mengemudi 6-7 jam untuk Surabaya-Trenggalek dan sebaliknya.
Padahal, sebelumnya jarak dua kota itu bisa ditempuh paling lama 6 jam.
Sutriono mendapatkan target 22 pulang pergi (PP) dalam satu bulan. Artinya, manajemen memberikan waktu libur selama delapan hari dalam satu bulan.
Menurut Sutriono, waktu beristirahatnya sudah lebih dari cukup.
Dia juga diberi keleluasaan untuk mengatur hari kerja. Sutriono boleh langsung mengoperasikan bus selama 22 hari non-stop dan libur 8 hari berturut-turut atau satu minggu bekerja selama empat kali PP dan dua hari libur.
“Manajemen fleksibel. Kami tidak pernah ditekan,” ungkap pria 51 tahun itu.
Masih menurutnya, banyak sopir di Harapan Jaya yang tidak memenuhi target. Rata-rata, untuk bus baru, manajemen menarget 22 PP.
Sedangkan untuk bus yang lebih tua, target di patok 20 PP. Meski tidak memenuhi target, manajemen tidak memberlakukan sanksi.
Etos kerja Sutrisno dan kawan-kawannya dihargai dengan model bagi hasil.
Dia mengaku mendapatkan upah 12 persen dari keuntungan bersih selama 1 PP.
Presentase lebih kecil, yakni 8 persen untuk kondektur dan 5 persen untuk kernet.
Dia mengaku upahnya cukup untuk menghidupi keluarga.
“Saya tidak terlalu ngoyo. Sopir 50 tahunan seperti saya ini, notok ya 10 jam nyopir harus istirahat. Ya cukuplah apa yang saya dapatkan. Tetapi setiap orang nilai cukupnya kan beda-beda. Ada yang ngoyo sampai 24 PP. Kita sebagai teman kadang mengingatkan agar tidak terlalu memaksakan,” ujarnya. (idl/day/ben)