Hakim Tipikor Medan Putuskan Terdakwa LTE PLN Tak Korupsi
"Setelah mempertimbangkan fakta dan bukti-bukti di persidangan, Majelis Hakim menyatakan terdakwa tidak terbukti melanggar dakwaan primer sesuai Pasal

TRIBUNNEWS.COM,MEDAN - Majelis Hakim Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Medan menyatakan tenaga ahli PLN yang dijadikan terdakwa dalam perkara peremajaan Life Time Extension (LTE) Gas Turbine GT 2.1 & GT 2.2 PLTGU Blok II Belawan, Medan (LTE GT 2.1 & GT 2.2), tidak terbukti melakukan pelanggaran atas Pasal 2 UU Tipikor.
Penegasan tersebut dinyatakan Ketua Majelis Hakim S.B. Hutagalung, saat membacakan keputusan vonis kepada terdakwa Chris Leo Manggala, di Pengadilan Tipikor Medan, Rabu (1/10). Selain Chris Leo, dua terdakwa lain yang dibacakan vonisnya pada hari yang sama adalah Muhammad Ali dan Surya Dharma Sinaga.
Menurut Hutagalung, dakwaan primer Jaksa Penuntut Umum (JPU), yang menyatakan terdakwa melanggar Pasal 2 jo Pasal 18 UU No 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 jo Pasal 55 Ayat 1 ke 1 KUHP, tidak terbukti secara sah dan meyakinkan.
Dengan menggunakan Pasal 2 tersebut, jaksa menuduh terdakwa dinilai bersalah melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama yang dapat merugikan negara dan memperkaya orang lain atau suatu korporasi seperti dakwaan primer Jaksa.
"Setelah mempertimbangkan fakta dan bukti-bukti di persidangan, Majelis Hakim menyatakan terdakwa tidak terbukti melanggar dakwaan primer sesuai Pasal 2 tersebut, dan membebaskan terdakwa dari dakwaan primer,” tandas Hutagalung.
Menurut Majelis Hakim, dalam perkara LTE, juga tidak terbukti ada kerugian negara yang timbul sesuai perhitungan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP).
Hutagalung menegaskan, Majelis berpendapat bahwa BPKP bukan lembaga yang berwenang menghitung kerugian negara, melainkan tugas Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
Majelis Hakim berpendapat bahwa laporan BPKP tentang perhitungan kerugian negara tidak dapat dijadikan dasar penghitungan kerugian negara karena tidak memiliki dasar hukum dan disusun tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Hutagalung juga mengutip kesaksian Dr. Tri Yuswidjajanto, ahli Sistem Pembangkit Daya dan Perawatan Mesin ITB, yang menegaskan, dalam perkara LTE ini, tidak ada kerugian negara.
Sebaliknya, negara dan PLN justru bisa berhemat dan malah untung.
Dalam kesaksian sebelumnya, Tri menyatakan bahwa unit pembangkit listrik yang bekerja, butuh BBM yang disubsidi negara (BBM subsidi).
Selain itu, listrik yang dihasilkan dan disalurkan ke masyarakat juga harga jualnya disubsidi pemerintah.
Dengan asumsi harga solar non subsidi Rp 12.000/liter, sementara harga Solar subsidi Rp 5.500/liter, maka negara memberi subsidi Rp 6.500/liter. Untuk turbin gas dengan daya 132 MW dan konsumsi Solar subsidi 0,31 liter/kwh, maka beban subsidi Rp 184 juta per jam.
Nila dihitung untuk 309 hari dan dianggap bekerja terus menerus, butuh subsidi Rp 1,365 triliun.
Sementara untuk mengoperasikan dalam jangka waktu tersebut diperlukan biaya BBM sebesar Rp 1,365 triliun dan biaya operasi serta pemeliharaan Rp 819 miliar.
Dengan kata lain tidak beroperasinya unit tersebut ada penghematan sebesar Rp 2,184 triliun di PLN. Jika ini dibandingkan dengan pendapatan PLN yang tidak terealisir menurut perhitungan BPKP sebesar Rp 2,007 triliun, justru terjadi penghematan Rp 177,6 milyar.