Laut Subang Semakin Memprihatinkan
Perairan laut Subang mengalami pendangkalan karena sedimentasi lumpur yang terbawa arus sejumlah sungai, seperti halnya Sungai
TRIBUNNEWS.COM, SUBANG - Perairan laut Subang mengalami pendangkalan karena sedimentasi lumpur yang terbawa arus sejumlah sungai, seperti halnya Sungai Cupunagara, Ciasem, Blanakan, Cilamaya dan sejumlah sungai kecil lainnya.
"Lumpur-lumpur yang terbawa oleh arus sungai tersebut kemudian terbawa ke Laut Jawa. Di Laut Jawa, jutaan kubik lumpur tersebut kemudian mengendap hingga akhirnya, laut menjadi dangkal," kata Cece Rahman dari Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) kepada Tribun, Rabu (3/7/2013).
Akibatnya, kata Cece, karena laut yang menjadi dangkal, sejumlah daratan di tepi pantai, seperti permukiman hingga tambak milik warga, seringkali terbanjiri oleh air laut.
"Contoh kecilnya perkampungan di Desa Patimban Kecamatan Pusakanagara dan Desa Mayangan Kecamatan Legon Kulon. Setiap saat air pasang, perkampungan mereka terendam. Bahkan, sebagian daratan di sana sudah hilang," katanya.
Ia menambahkan, kondisinya diperparah dengan adanya deforestrasi hutan bakau di tepi perairan Subang. Biasanya, deforestrasi hutan bakau tersebut dilakukan untuk pembuatan tambak-tambak ikan milik warga. "Di tengah perairan laut Subang yang dangkal, diperparah lagi dengan deforestrasi hutan bakau yang fungsinya bisa menahan arus ombak," kata dia.
Ia menambahkan, tragedi banjir rob di Pantura Subang, tidak hanya sebatas menjadi bencana banjir biasa pada umumnya. Malah, ia menilai, bencana di Pantura Subang, sudah ibarat menjadi bencana kemanusiaan karena banjir rob tersebut, telah meluluhlantakan bangunan peradaban di desa-desa tersebut dan berujung pada kemiskinan yang akut.
"Daratan yang hilang bersama dengan rumah-rumah milik warga karena berubah menjadi lautan serta fenomena banjir di Pantura Subang, kami menailai hal itu sudah menjadi bencana kemanusiaan yang harus segera ditanggulangi. Sayangnya, upaya Pemkab Subang hanya sebatas bertindak jika ada bencana, belum ada langkah konkret terkait penanggulangan secara preventif," katanya.
Kasubag TU UPTD Pengelolaan Hutan Mangrove pada Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Subang Iman Firmansyah mengatakan bahwa sedimentasi lumpur dari arus sungai yang terbawa hingga ke laut Jawa, tidak hanya menimbulkan pendangkalan hingga banjir rob, namun, saking parahnya, pendangkalan tersebut mengakibatkan munculnya tanah-tanah timbul.
"Saking banyaknya lumpur yang terbawa dari sungai hingga mengendap di laut, lumpur tersebut kemudian berubah menjadi tanah timbul atau tanah yang muncul di perairan laut karena sedimentasi," kata dia.
Dari 2002 hingga sekarang, ia mencatat, 220 hektar tanah timbul muncul dari perairan hingga menjadi tanah kosong atau membentuk pulau, sebagai akibat dari sedimentasi lumpur.
"220 hektar itu kami kelola dengan ditanami mangrove. Di luar 220 hektar itu, ada juga tanah timbul lainnya, tapi di bawah pengelolaan Perum Perhutani, yang sampai saat ini, tidak dikelola, padahal, tanah timbul itu harus dikelola untuk dijadikan pengaman banjir rob," kata Iman.
Ia mengatakan, wilayah pantai yang terkena abrasi tersebut, hasil pengamatannya selama ini, berada di daerah hutan mangrove yang dikuasai oleh Perum Perhutani. "Itu dia masalahnya, daerah-daerah yang terkena banjir rob itu, pengamatan kami berada dekat dengan kawasan hutan bakau Perhutani. Dan tidak jarang disana ada pembukaan lahan hutan untuk dijadikan tambak ikan," kata dia. (men)