Sabtu, 4 Oktober 2025

Perdagangan Satwa Liar Jambi Nomor Satu

Perambahan Hutan dan perburuan satwa liar yang dilindungi semakin marak terjadi di Jambi.

Editor: Anwar Sadat Guna
zoom-inlihat foto Perdagangan Satwa Liar Jambi Nomor Satu
net
Harimau Sumatera

TRIBUNNEWS.COM, JAMBI - Perambahan Hutan dan perburuan satwa liar yang dilindungi semakin marak terjadi di Jambi.

Fahrurrazi, Kasi Pembalakan Ilegal dan Tumbuhan dan Satwa Liar (TSL) Wilayah I BKSDA Jambi, mengungkapkan, tingginya perdagangan dan perambahan hutan di Jambi salah satunya disebabkan kurang tegasnya aparat terkait.

Fahrurrozi mengatakan hal itu dalam rapat koordinasi pengamanan hutan Provinsi Jambi oleh BKSDA (Badan Kelestarian Sumber Daya Alam) Pemprov Jambi di Hotel Royal Grand Resto Paal X Kotabaru, Jambi, Kamis (13/9/2012).

Rapat diikuti oleh semua jajaran kehutanan di kabupaten dan kota di Provinsi Jambi, pihak kejaksaan, polisi, TNI, dan sejumlah unsur muspida.

Menurut Fahrurrozi, banyak kasus yang terjadi adalah lolosnya perdagangan satwa liar dari tangan petugas.

"Banyak hewan seperti harimau, trenggiling, orang hutan, dan satwa lindung lainnya dijual masyarakat keluar provinsi. Dan ini terbukti setelah penjual tersebut ditangkap di provinsi lain. Ini menunjukkan kurangnya keamanan dan pengawasan dari Kepolisian Kehutanan (Polhut) maupun aparat di Jambi," kata Fahrurrozi.

Menurutnya, dari hasil tangkapan yang dilakukan provinsi tetangga, tampak jelas bahwa pengamanan di Jambi masih kurang.

"Yang keluar beritanya di media massa, pasti (masuknya satwa liar) selalu dari Jambi. Jadi saya berani bilang Provinsi Jambi mendapat peringkat satu nasional dalam perdagangan satwa liar," katanya.

Kepala BKSDA Provinsi Jambi Tri Siswo Raharjo, mengatakan, tingginya angka perambahan hutan di Jambi harus segera ditangani secara serius.

Menurutnya, banyak modus yang dilakukan perambah untuk menghabiskan hutan di Jambi, termasuk memanfaatkan nama suku anak dalam (SAD) untuk perambahan awal.

Namun setelah hutan itu dibuka, maka perusahaan membeli hutan tersebut dengan berangsur-angsur.

"Yang banyak mengambil hutan itu adalah mengatasnamakan SAD. Dengan nama SAD, maka orang-orang tersebut dengan bebas bisa mengambil hutan. Padahal yang mengambil bukan SAD. Setelah hutan dibuka, dia jual lagi ke perusahaan," jelasnya.

Ia menegaskan, seharusnya petugas dishut, kepolisian, TNI, masyarakat dan instansi lainnya bisa mengawasi perbuatan yang sangat merugikan negara itu.

Kasat Polhut Jambi Krismano, mengatakan, volume kerusakan hutan di wilayah Jambi tiap tahunnya mencapai 24 ribu hektare lebih atau setara 2 persen dari total hutan di Jambi yang mencapai 2 juta hektare.

Menurut dia, kondisi hutan Jambi telah mengalami penyusutan seluas 767 ribu hektare (26,04%) jika dibandingkan luas hutan pada tahun 1985 yang mencapai 2,9 juta hektare.

Ada beberapa faktor penyebabnya, yaitu adanya alih fungsi kawasan hutan menjadi perkebunan dan transmigrasi (398 ribu hektare), penyerobotan lahan oleh masyarakat dan pemukiman warga (150 hektare) dan peruntukan lain (200 ribu hektare).

"Makanya, perlu ada terobosan dari semua pihak, untuk meningkatkan kemampuan dalam mengantisipasi kerusakan hutan yang meluas," katanya.

Berdasarkan data yang diperoleh dari Dinas Kehutanan Provinsi Jambi, setidaknya ada 18 perusahaan yang turut terlibat merusak dan menjarah hutan di wilayah Jambi.

Dari 18 perusahaan itu, rinciannya 13 HTI pertukangan (aktif), tiga HTI pulp (aktif) dan parahnya ada dua perusahaan yang mendapat izin pegelolaan HTI, tapi berstatus tidak aktif.
Diduga perusahaan itu hanya mengambil kayunya saja, kemudian tidak menjalankan aktivitasnya.

Menanggapi hal itu, beberapa petugas dinas kehutanan dari kabupaten di antaranya Kabupaten Tebo, dan Tanjung Jabung Barat mengaku memiliki alasan kenapa mereka sampai kecolongan.

Sumarjo dari Dinas Kehutanan Kabupaten Tebo mengatakan, keterbatasan sumber daya manusia dan peralatan menjadi persoalan paling utama menyikapi kasus perambahan hutan.

"SDM kita sangat kurang, seharusnya di sana terdapat 60 petugas, sekarang hanya ada 16 petugas. Jadi itu menjadi kendala bagi kami mengawasi hutan. Selain itu juga kurangnya pengetahuan masyarakat tentang undang-undang. Jadi kami di sana menjadi kendala bagi petugas," jelasnya.

KLIK JUGA:

Sumber: Tribun Jambi
Rekomendasi untuk Anda
AA

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved